Mohon tunggu...
Roy Hendroko
Roy Hendroko Mohon Tunggu... -

Roy adalah mania di bBH (jangan diartikan Bra Mania), atau dalam Bahasa Indonesia yang salah kaprah : BBN Mania, atau di-Inggris-kan : Biofuel Mania. Saat ini mencangkul di perusahaan swasta yang berbasis perkebunan dan industri kelapa sawit, sebagai Researcher Biofuel Plant Production. Roy pensiun dengan masa kerja 35 tahun dari sebuah BUMN yang mengelola 10 Pabrik Gula, 2 Pabrik Bioetanol, dan 2 Pabrik Kelapa Sawit. Aktif di Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia (APBI) skala UKM, Asosiasi Bioenergi Indonesia (ABI), Asosiasi Petani Jarak Pagar Indonesia (APJPI), Forum Biodiesel Indonesia (FBI), dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Tujuanku menulis adalah memberitakan bahwa minyak bumi sedang menuju titik nadir dan suatu hari BBM adalah akronim dari Bener Benar Malu. Masa depan Republik ini adalah pertanian energi karena pro poor, pro job, pro growth, dan pro planet. Postinganku berupaya menjadikan BBN (bahan bakar nabati) menjadi back bone di negara ini. Bukan seperti saat ini yang hanya Bener Bener Nekat atau hanya sekadar Bener Bener Narcist dan akhirnya pabrik Benar Bener Nyaris jadi rosokan besi tua karena hanyalah merugi. Apakah "mimpi", "utopia", atau "misi"-ku akan tercapai ? INSYA ALLAH dan semoga rekan Kompasianer mendukungku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mie Sagu (100 Persen Asli Lho)

22 Agustus 2009   14:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:48 5989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Met jumpa Kompasianers. Kali ini kita refreshing, tidak bicara tentang “demam bioetanol” tapi tetap dalam kaitan BBN (bahan bakar nabati). Kita udah membahas 7 seri Bioetanol, 2 seri Jatropha,  2 seri Biodiesel/CPO,  yang semuanya tersaji di "lapak" saya di sini.  Kali ini, kita akan diskusi tentang sagu (Metroxylon sagu Rottb.), salah satu bahan baku bioetanol yang potensial di Indonesia, namun sayang belum terjamah. Sebagai intro, saya akan sumbang saran (bukan saran sumbang lho) tentang mie sagu. Dalam bahasa Indonesia, mana yang ”baik dan benar” …..mie atau mi?

Bocah nDeso Mungkin kompasianers udah ngeh, tulisan ini melanjutkan postingan tentang “mie singkong” di tanggal 12 Juli 2009. Klik di sini untuk membaca mie bendo atau mie lethek (nama lokal di DI Yogyakarta). Nyuwun pangapunten, mohon maaf sebagian kompasianers mungkin buruk sangka alias suudzon, apakah Roy akan nyerang dan nyindir Mas Bocah nDeso yang dengan cantik telah mem-posting dan mempertanyakan “ Mie Instan Campuran Sagu, dan Singkong, serta Sukun itu memang Ada?" di Kompasiana, 29 Juni 2009. Sebuah postingan apik bersumber debat pilpres antara Pak Beye dan Pak JK di Juni lalu.

Enggak, saya tidak berniat nyindir dan nyerang. Udah kedalu warsa, saya malu di-tertawain rekan kompasianers karena kok muncul sekarang. Apalagi nih hari puasa pertama ! Saya posting tentang mie sagu karena di bulan ini (jelang puasa) sampai lebaran kebutuhan mie sagu meningkat. Lho, apa ada yang memproduksi mie sagu dan mengkonsumsinya ?

Fanatik Mie Gleser Iya memang ada pabrik mie sagu (bukan mie instant sagu lho) dan juga konsumen fanatiknya. Bahkan komponen sagu dalam mie (basah) sagu bukan hanya sebagai campuran, tapi 100% berbahan tepung sagu dengan tambahan hanya 0,5 % binder berupa guar gum. Dimana ”pabrik” mie (basah) sagu ? Bila bicara tentang makanan khas kapurung/papeda pasti tidak heran, di Sulawesi dan Papua ada “pabrik” mie sagu. Tetapi apakah kompasianers terkejut atau heran, bila saya katakan pabrik mie sagu yang relatif gede berada di dekat Jakarta ? Ya, karena “masyarakat asli” Bogor amat menyukai mie sagu. Sebagian besar orang Bogor, Sukabumi dan sekitarnya, tidak afdol bila berbuka puasa tanpa mie sagu yang beken dengan nama lokal mie gleser atau mie leor, atau mie sorodot.

Konon sebuah “pabrik” mie sagu di Pancasan-Ciomas, Bogor di bulan puasa memproduksi lebih dari 10 ton mie sagu/hari, padahal di bulan selain puasa hanya sekitar 2-3 ton per hari. Mungkin kompasianers tidak sadar udah mencicipi mie sagu. Bila kita makan soto-mie di Bogor dapat dipastikan kita makan mie sagu. Rasanya kenyal-kenyal tidak seperti mie berbahan terigu. Tidak mudah hancur di kuah panas soto atau bakso, sehingga tetap charming.

Mie Sehat Kenyal mie sagu mirip dengan bihun atau misoa jagung tapi tidak lentrek atau jemek (lentrek dan jemek itu boso Jowo....apa ya tepatnya terjemahan di bahasa Indonesia, ya.....mungkin ”basah”). Lho apa ada mie atau bihun atau misoa jagung ? Kan bihun biasanya terbuat dari beras dan mie atau misoa dari terigu alias tepung gandum? Ntar dikit saya paparkan. Informasi,bahwa isteri saya di Malang lebih memilih memasak bihun jagung dari pada bihun ”asli” yang dari beras .

Kenyal antara lain karena sagu mengandung resistant starch (jumlahnya 4-5 kali lipat dibanding mie instan terigu) yaitu fraksi pati yang tak tercerna oleh enzim-enzim dalam dalam saluran pencernaan. Adanya pati tidak tercerna memberi keuntungan bagi kesehatan, antara lain mencegah sembelit, mencegah kangker usus, mengikat asam empedu, tidak cepat meningkatkan kadar glukosa darah (mie sagu termasuk dalam kelompok pangan berindeks glikemik rendah) sehingga cocok bagi penderita Diabetes Melitus, dan memberi efek mengenyangkan sehingga cocok untuk program diet.

Jelang HUT-RI ke-64 Minggu lalu, saya menghadiri 2 kegiatan terkait inovasi. Pertama, di Ritech Expo dalam rangka Hari Kebangkitan Teknologi Nasional di GOR Bung Karno di Senayan, Jakarta. Kedua, di Pekan Agro Inovasi III dalam rangka HUT ke-35 Badan Litbang Pertanian di Kampus Penelitian Cimanggu, Bogor. Di dua expo tersebut dipamerkan antara lain kesiapan Kementrian Ristek & SEAFAST Center IPB dan Departemen Pertanian (Balai Besar Pasca Panen) untuk mensubstitusi gandum sebagai bahan mie. Bahkan saya menghadiri dialog interaktif ”Menggapai Pertanian Masa Depan – Saran Kebijakan bagi Pemerintahan Era 2010-2014” dengan salah satu pembicara, Franky Welirang, Indofood.

Stan IPB di Ritech Expo menawarkan antara lain teknologi mie (kering) jagung dengan harga pokok Rp 2.432 per kg dan harga jual Rp 3.500 per kg dalam kemasan kantong plastik satu kg. IPB menawarkan pelatihan dan bimbingan bagi para investor mie jagung.

Balai Besar Pasca Panen di Pekan Agro Inovasi III, menawarkan teknologi tepung pisang yang menurut Pak Franky Welirang berprospek cerah di Ngada, NTT. Demikian juga teknologi tepung labu kuning, teknologi pati batatas, teknologi tepung kasava alias singkong, dan teknologi tepung kasava Bimo yang mirip dengan tepung mocal yang pernah kita bahas. Diperagakan pula pembuatan bolu kukus, roti, dan donat dari tepung ubi jalar, serta pembuatan mie dari sukun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun