Mohon tunggu...
Roy SamsuriLubis
Roy SamsuriLubis Mohon Tunggu... Buruh - Penyiar paruh waktu

Pemikir Penuh Waktu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengemis Bersampul Hedonisme

12 Juli 2019   03:21 Diperbarui: 12 Juli 2019   03:35 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat itu aku dan seorang kawan sedang berbincang soal bagaimana lingkungan membentuk karakter manusia. Dia menceritakan sebuah teori yang ia dengar dari dosennya di universitas tempat ia belajar; misalkan, kamu keluar dari rumah di pagi hari menuju universitas. 

Di tengah jalan, sebutlah di halte, ada seseorang sedang duduk lalu kamu kasih uang dan hal ini berlangsung beberapa hari. Di hari berikutnya kamu akan mendapati dia menunggu kamu untuk mendapat jatah. Lalu, beberapa hari ke depan dia akan berani meminta.

Pada awalnya, aku pikir ini hanya sebuah teori asal-asalan. Namun, suatu ketika aku mencoba hal ini. Suatu hari saat aku berangkat kerja ada seseorang yang sedang menunggu angkutan untuk berangkat kerja pula. Karena tak ada angkutan dia nebeng. Esok harinya dia masih di situ dan dia nebeng lagi. 

Suatu ketika, ada angkutan yang lewat, tapi ai biarkan karena dia melihat aku sudah dekat. Tetap aku naikkan, tak elok membunuh harapan orang lain. Nah, di waktu berikutnya dia tetap melewatkan angkutan karena aku sudah sangat dekat, saking dekatnya, aku bahkan bisa mendengar percakapannya dengan sopir angkutan itu. Kira-kira begini:Sopir : "Pak, tak ikut?"

Dia : "Tidak, angkutanku sudah datang"?

Aku mendengar itu dengan jelas. Bisa kita lihat bagaimana lingkungan membentuk karakter manusia secara perlahan. Bisa kamu bayangkan, dia yang awalnya nebeng karena buru-buru ke tempat kerja karena tak ada angkutan yang lewat akhirnya merasa bahwa orang yang menolongnya adalah sopir pribadinya.

Ini sering terjadi dalam kehidupan kita. Namun, tak kita sadari. Dalam lingkaran pertemanan pun ihwal ini tak terhindarkan. Misalnya, bagaimana orang kiwari merayakan ulang tahun; seharusnya saat ada saudara, relasi, atau kawan yang ulang tahun kita menyenangkan dan membuat dia bahagia bukan malah meminta untuk ditraktir. 

Bisa kamu bayangkan saat dia misalnya sedang tak punya uang, tapi harus memenuhi hasrat rekan-rekannya untuk makan, di tempat yang berkelas pula. Dia yang seharusnya bahagia malah ditodong oleh orang-orang yang dekat dengan dia pula. 

Kalau tak dituruti maka bisa tersisih dan menjadi gunjingan di lingkaran pertemanan sendiri. Entah siapa yang pertama sekali membuat budaya ini, tapi yang jelas berhasil menciptakan pengemis dalam balutan kapitalis yang hedonis.

Pun begitu dengan perayaan Idulfitri, anak-anak ditanamkan untuk meminta THR ke sanak saudara. Mungkin, ini kita anggap biasa. Namun, secara perlahan anak-anak akan terbentuk menjadi pengemis dalam balutan hedonisme. Tidak semua memang, tapi tak sedikit. Tidak jarang mereka akan berani meminta uang ke sanak saudara di tempat yang ramai. 

Bisa kamu bayangkan? Suatu ketika ada keponakanmu yang meminta uang ke kamu di khayalak ramai sedang kamu tidak punya uang. Masih banyak hal lain yang bisa aku paparkan, tapi ini saja aku rasa cukup. Itu makanya aku hampir tak pernah ikut merayakan ulang tahun kawan-kawanku, bukan karena tak setiakawan, hanya saja aku tak mau menjadi bagian orang yang turut serta merampok uangnya secara pelan. Ini hanya opini, tentu kawan-kawan punya pendapat sendiri terhadap perihal ini. Berbeda itu bisa selama tidak memutus silaturrahmi di antara kita. Tabik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun