Sampai dengan tahun ketiga pemerintahan Jokowi, Kabinet Kerja telah mengalami reshuffle 3 kali. Berbagai berita tentang kejadian dan ujaran akhir-akhir ini mengindikasikan akan dilakukan perubahan untuk yang keempat kali.
Reshuffle adalah pengocokan (kartu) ulang. Dalam bahasa pemerintahan, politik, atau diplomasi, reshuffle dimaksudkan sebagai tindakan reorganisasi terkait bidang kerja (job) di dalam sebuah pemerintahan atau kabinet. Maka jika memang terjadi reshuffle kabinet ke-4, maka Kabinet Jokowi benar-benar sesuai dengan namanya, Kabinet (yang selalu) Kerja, betapa pun yang ramai dibahas adalah peralihan rupa alias pengocokan menterinya.
Jabatan Politis
Orang menilai reshuffle adalah siapa mengganti siapa, siapa mendapatkan apa. Hal ini mudah diterangkan karena pola pikir bahwa jabatan menteri adalah perihal power sharing, pembagian kursi para stake holder pemerintah yang bernama parpol, tentu saja parpol pendukung pemerintah. Semua menganggap bahwa menteri adalah jabatan politis. Maka untuk mendapatkan jabatan politis diperlukan upaya politis juga yaitu tawar-menawar. Namun secara parlementer, DPR sebagai lembaga  legislatif negara mengatakan bahwa menteri adalah mitra kerja. Mereka tidak mengatakan mitra politik.
Profesional
Dalam kesempatan kunjungan kerja di Purwakarta (25/4) Jokowi menginginkan menteri yang bisa mengidentifikasi masalah yang ada sehingga cepat mengeksekusinya, berani mengambil resiko, memiliki kemampuan manajerial yang baik sehingga mampu menguasai lapangan. Ditambahkan lagi oleh beliau bahwa kerja kita (kabinet) ini kerja tim.
Sebelumnya ketika menghadiri Konggres Ekonomi Umat yang diselenggarakan MUI di Jakarta (22/4), Jokowi menekankan bahwa beliau bekerja selalu memakai target. Jika sang menteri tak.mampu mencapai target, reshuffle adalah jawabannya. Tegas dan jelas.
Prerogatif
Semua unsur sepakat bahwa penetapan menteri adalah hak prerogatif Presiden. Koalisi parpol pendukung pemerintah tanpa syarat yang sering digembar-gemborkan bukanlah sebuah kebetulan tapi memang seharusnya.
Visi Jokowi tentang profesionalitas Kabinet Kerja di atas adalah acuan prerogatif seorang presiden untuk para pembantunya. Itulah policy (kebijakan).
Oleh karena itu, setiap anggota kabinet kerja haruslah berorientasi pada kerja tanpa syarat. Orientasi politik kepada parpol asalnya seyogyanya berhenti ketika dipilih menjadi menteri negara. Sehingga menteri tidak lagi bersibuk-ria dengan hiruk-pikuk politik yang mengesampingkan (target) kerja. Menteri bukan lagi petugas parpol tetapi petugas negara.