www.kaskus.co.id
Kata ‘selera’ menurut KBBI ada 3 arti. Nafsu makan, nafsu atau keinginan (untuk berbuat sesuatu), dan kesukaan atau kegemaran.
Sosiolog Perancis Pierre Bourdieu ( 1930-2002) menjelaskan tentang selera yang berbasis kelas (strata). Selera, ujar Bourdieu, dipengaruhi oleh seberapa besar kapital ekonomi, budaya, sosial dan simbolik yang dimiliki seseorang, dan bagaimana komposisi keempat kapital tersebut. Seseorang yang hanya memiliki sedikit kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial dan kapital simbolik, kelas pekerja misalnya, memiliki selera yang berbeda dengan seseorang yang memiliki lebih banyak kapital dengan komposisi yang lengkap (kelas pemilik modal). Kapital budaya adalah pendidikan, kecerdasan, cara berbicara, gaya berpakaian, penampilan fisik. Kapital sosial adalah jaringan, teman, kolega, klub. Sedangkan kapital simbolik adalah lukisan, gelar, titel, medali, penghargaan. Selera juga dipengaruhi oleh field atau arena sosial. Arena sosial adalah latar atau setting di mana posisi sosial seseorang berada.
Selera dibentuk nyaris di luar kontrol individu, bergerak di bawah level kesadaran dan bahasa melalui relasi antara habitus, kapital, dan field. Habitus, di satu sisi, urai Bourdieu, merupakan struktur pembentuk tindakan, yang menentukan pilihan selera. Di sisi lain, habitus juga merupakan struktur yang dibentuk oleh pilihan selera seseorang. Dengan kata lain, perbedaan habitus membedakan selera dan sekaligus menguatkan selera.
Kompasiana
Merujuk uraian di atas, maka dapat dipahami sekarang bahwa antara selera admin, kompasianer (penulis) dan pembaca (pemberi komentar/ komentator) bisa berbeda. Perbedaan ini sangat berkorelasi dengan kapasitas dan intensitas relasi antara habitus, kapital dan field yang dimiliki masing-masing. Jadi jangan heran jika ada yang mengatakan artikel ‘seperti itu’ kok bisa HL. Atau artikel bukan HL ‘ala begitu’ kok bisa-bisanya mendulang ratusan bahkan ribuan komen. Menurut hemat saya, hal begitu sah-sah saja karena tidak mungkin menyamaratakan selera para pihak yang terlibat di Kompasiana. Sebaliknya, terhadap beberapa tulisan, bisa pula selera tersebut sama sebangun. Lantas bagaimana menjelaskan adanya perbedaan antara para komentator, yang terkadang tajam berbeda dengan segala ungkapannya? Bourdieu memilih memakai istilah class fraction, untuk menjelaskan bagaimana kelas-kelas di dalam masyarakat, bahkan dalam satu kelas sosial yang sama, saling bermanuver dalam arena sosial untuk saling menguasai. Jika kompasiana boleh dikategorikan sebagai sebuah arena sosial, maka kiranya dapat dipahami penjelasan kalimat di atas.
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah biarlah selera yang berwarna itu tetap hadir di sini. Inilah kekayaan realitas yang imajiner. Ringkasnya, pilihan realitas imajiner, yang bertebaran di sini dapat dipastikan berdasarkan kesenangan, kepuasan, pemenuhan, dan kegunaan yang semuanya bisa dianggap sebagai sumber dari motivasi, entah untuk menulis buah pikiran, membuang hajat komentar, atau bahkan sekedar menumpah-ruahkan isi perut.
“Stimulus dan selera adalah faktor yang sangat berpengaruh pada pemikiran seseorang. Belajar tanpa selera tidak akan berhasil. Tanpa fighting spirit, maka kita bukan apa-apa. (Soe Hok Gie)
“De gustibus non est disputandum”
Tidak ada yang patut diperdebatkan menyangkut selera