Rosy Dearnita
Prodi PGSD, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta, Indonesia
Salakan, Banguntapan – SD Negeri 1 Salakan menjadi salah satu contoh sekolah dasar yang berhasil membangun budaya sekolah ramah anak dan inklusif melalui penerapan konsep 5S (Senyum, Sapa, Salam, Sopan, dan Santun) dan 7K (Keamanan, Kebersihan, Ketertiban, Keindahan, Kekeluargaan, Kerindangan, dan Kerapian). Budaya ini tidak hanya diterapkan sebagai rutinitas harian, tetapi juga menjadi bagian penting dalam pembentukan karakter dan penguatan nilai-nilai pendidikan inklusif di sekolah.
Setiap pagi, sebelum proses pembelajaran dimulai, siswa-siswi SDN 1 Salakan terbiasa menyambut guru dengan salam, menyanyikan lagu Indonesia Raya, membaca doa bersama, dan melantunkan Asmaul Husna bagi mereka yang beragama islam. Kebiasaan ini secara konsisten membentuk lingkungan yang ramah dan menghargai keberagaman.
"Kami ingin menanamkan bahwa setiap anak itu unik, dan semua berhak merasa aman dan diterima di sekolah. Sekolah membangun budaya keberterimaan dengan mengedepankan nilai nilai dalam setiap aspek kegiatan melalui pembiasan tadi," ujar Pak Antoko selaku guru wali kelas 3 SDN 1 Salakan, saat ditemui di sela-sela jam istirahat, Rabu (28/05).
Penerapan budaya sekolah ini sejalan dengan pandangan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, yang menekankan bahwa pendidikan harus membangun budi pekerti, bukan hanya intelektual. “Setiap anak adalah manusia utuh yang harus dibina lahir dan batinnya,” tulisnya dalam gagasan tentang pendidikan berbasis karakter dan lingkungan.
Pendidikan inklusif adalah pendekatan yang memberikan kesempatan belajar yang sama bagi semua peserta didik, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus, tanpa diskriminasi. Konsep ini dikuatkan oleh pendapat Ainscow dan Booth (2002) yang menyatakan bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang mampu mengakomodasi semua anak tanpa terkecuali, dengan menciptakan budaya, kebijakan, dan praktik yang mendukung keberagaman.
Di SDN 1 Salakan, semangat inklusif ini tumbuh seiring dengan pembiasaan positif yang menyentuh aspek emosional dan sosial siswa. Budaya 5S mendorong seluruh warga sekolah untuk bersikap ramah, terbuka, dan saling menghargai, sedangkan 7K mendorong siswa untuk mencintai kebersihan, keteraturan, serta menjaga keindahan lingkungan sekolah yang rindang dan tertata. Selain itu, bagi siswa yang beragama non-Islam, SDN 1 Salakan menyediakan guru agama khusus yang membimbing dan memberikan pendidikan agama sesuai keyakinan masing-masing. Hal ini memperkuat semangat inklusivitas dan penghormatan terhadap keberagaman di sekolah.
Guru-guru juga aktif membimbing siswa dalam kegiatan sosial, seperti gotong royong, piket kebersihan, dan kerja sama kelompok, tanpa membedakan latar belakang siswa. Hal ini selaras dengan teori Lev Vygotsky, yang menekankan pentingnya interaksi sosial dalam proses belajar. Vygotsky percaya bahwa anak berkembang melalui kerja sama dengan lingkungan sosialnya.
Meskipun demikian, tantangan tidak sepenuhnya hilang. Guru selaku narasumber mengakui bahwa terkadang masih ditemukan perilaku bullying non verbal di kalangan siswa, seperti memanggil nama teman menggunakan nama ayah teman.
Sekolah terus berupaya memperkuat nilai-nilai empati dan rasa saling menghormati melalui berbagai kegiatan pembiasaan karakter, dialog terbuka, serta pelatihan pengembangan diri baik saat pembelajaran dalam kelas maupun luar kelas. SDN 1 Salakan kini menjadi contoh bahwa penerapan budaya 5S dan 7K tidak hanya menghasilkan siswa yang sopan dan peduli lingkungan, tetapi juga menciptakan sekolah yang inklusif, ramah anak, dan berkarakter.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI