Mohon tunggu...
Rossa Amalia
Rossa Amalia Mohon Tunggu... Epidemiologist

Epidemiology enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jejak Lingkungan Produk Menstrual yang Pria Juga Harus Tahu

1 Oktober 2025   17:04 Diperbarui: 1 Oktober 2025   17:04 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya seorang wanita. Setiap bulannya, saya selalu pergi ke warung untuk membeli satu hal penting bagi banyak wanita di dunia: pembalut menstruasi. Setiap bulannya pula, saya harus berdebat dulu dengan pemilik warung tentang bungkus dari pembalut yang saya beli. Karena warung hanya berjarak seratus meter dari rumah, saya merasa tidak keberatan untuk membawa produk tersebut dengan tangan kosong, tapi pemilik warung selalu memaksa untuk membungkusnya dengan plastik hitam. Ya, dia ingin saya membungkus produk dengan kandungan plastik---yang sebenarnya sudah dikemas dengan plastik---menggunakan plastik lagi. Demikianlah gambaran implikasi dari ketabuan menstruasi di Indonesia.

Setiap bulannya, diperkirakan terdapat 1,8 miliar wanita di dunia mengalami menstruasi (World Bank). Di Indonesia, terdapat sekitar 73,8 juta wanita usia subur (reproduktif) di tahun 2024, yang kemungkinan sebagian besarnya juga mengalami menstruasi setiap bulan, termasuk saya. Selama masa reproduksi wanita, diperkirakan terdapat 12.000 produk menstruasi sekali pakai yang digunakan dan dibuang oleh setiap wanita, di mana setiap produk tersebut mungkin membutuhkan waktu 800 tahun untuk terurai. Semua orang harusnya sadar dan tidak menganggap tabu hal ini, karena pembalut dari 2 juta wanita saja bisa memenuhi seisi Empire State Building di New York, atau setara lebih dari 83 kali luas Candi Borobudur.

Beban pembalut wanita terhadap lingkungan adalah layaknya gunung es. Pembalut wanita sekali pakai rata-rata berbahan dasar plastik dan mengandung sekitar 90% bahan yang tidak dapat terurai, termasuk kemasan, strip perekat, lembaran plastik bagian belakang, dan sebagainya. Belum lagi proses produksi komponen dari pembalut yang juga berdampak negatif terhadap lingkungan karena emisi yang dihasilkan dari pengadaan bahan baku, produksi, pengolahan, pengemasan, dan transportasi. Cara pembuangan yang salah juga dapat menyebabkan masalah lain seperti penyumbatan pipa pembuangan, penumpukan di tempat pembuangan akhir, paparan plastik pada ternak, pelepasan mikroplastik ke sumber air dan tanah, pelarutan bahan kimia ke lingkungan, serta pertumbuhan patogen. 

Terdapat beberapa faktor yang berperan pada dampak lingkungan yang ditimbulkan dari pembalut sekali pakai: tidak adanya regulasi yang ditetapkan mengenai pembuangan pembalut yang benar, dampak lingkungan dari proses produksi pembalut, kesadaran akan manajemen kesehatan menstruasi (pembalut organik vs. inorganik, pembuangan), serta terjangkaunya harga pembalut. Di Indonesia, pembalut dikategorikan sebagai sampah rumah tangga biasa dan belum memiliki panduan pengelolaannya secara spesifik. Akibatnya, praktik pembuangan sangat beragam, mulai dari membungkus pembalut bekas dengan plastik lalu membuangnya ke tempat sampah (ini yang paling umum kita lakukan), membakarnya, bahkan ada yang membuangnya ke sungai atau toilet. Tidak ada standar nasional yang mengatur pengelolaan limbah pembalut, padahal produk ini mengandung plastik, gel penyerap, dan darah manusia yang termasuk limbah biologis dan berpotensi menimbulkan risiko kesehatan dan pencemaran lingkungan. Apabila dibandingkan dengan limbah medis seperti jarum suntik atau perban di fasilitas kesehatan yang memiliki aturan pembuangan ketat, pembalut justru luput dari perhatian meski volumenya sangat besar setiap harinya. 

Apabila dilihat dari aspek ekonomi, harga pembalut menstruasi sekali pakai di pasaran berkisar antara 25 ribu hingga 35 ribu rupiah per lusinnya, cukup murah untuk pengeluaran dalam satu bulan. Namun, jika satu perempuan akan menggunakan 12.000 pembalut menstruasi selama hidupnya, maka total uang yang dihabiskan untuk pembalut adalah 25 juta hingga 35 juta rupiah. Lebih baik dibelikan emas 10 gram bukan yang harganya terus naik? Harga ini mungkin terlihat murah di awal, namun apabila dibandingkan dengan produk menstruasi lainnya yang tidak sekali pakai, pembalut menstruasi sekali pakai akan memakan biaya yang jauh lebih mahal di masa hidup seorang perempuan. 

Alternatif lebih ramah lingkungan untuk pembalut sekali pakai antara lain adalah  pembalut kain yang dapat digunakan kembali, menstrual cup, serta pembalut berbahan dasar organik seperti serat bambu, serat pisang, dan eceng gondok. Penggunaan produk berbasis organik diketahui dapat mengurangi waktu biodegradasi pembalut dari 800 tahun pada pembalut plastik menjadi hanya sekitar 5 minggu. Alternatif ini bukan hanya untuk kepentingan lingkungan, tetapi juga untuk peningkatan kesehatan wanita, karena bahan sintetis tidak hanya sering mengandung bahan kimia beracun, tetapi juga dapat menciptakan lingkungan yang lembab dan hangat untuk terjadinya infeksi (jamur dan bakteri). 

Produk ramah lingkungan yang paling populer untuk menggantikan pembalut sekali pakai saat ini adalah menstrual cup. Secara fungsi, alat ini sangat efektif karena bisa digunakan berulang kali hingga bertahun-tahun, mengurangi sampah plastik dalam jumlah besar. Namun, keberadaannya masih sering dipandang tabu, khususnya oleh generasi boomers. Alasannya bukan sekadar karena bentuknya yang asing, melainkan juga cara penggunaannya yang harus dimasukkan ke dalam vagina. Bagi sebagian besar masyarakat yang tumbuh dengan nilai konservatif seperti di lingkungan saya, praktik ini sering dikaitkan dengan isu keperawanan. Pandangan seperti ini membuat menstrual cup sulit diterima secara luas, meski secara medis tidak ada hubungan antara penggunaannya dengan hilangnya keperawanan. Inilah alasan mengapa pembicaraan soal menstruasi dan produk-produk yang menyertainya tidak seharusnya hanya menjadi urusan perempuan semata karena pemahaman yang keliru justru lahir dari ketidaktahuan semua pihak, termasuk kaum pria.

Mengapa pria juga harus tahu? Karena menstruasi bukan sekadar pengalaman biologis perempuan, melainkan isu sosial, kesehatan, dan lingkungan yang dampaknya dirasakan semua orang. Sampah pembalut yang menumpuk di TPA atau bahkan nyasar ke sungai, hingga kebijakan sanitasi dan kesehatan reproduksi tidak akan bisa berubah jika hanya dibebankan pada perempuan. Pria adalah ayah, pasangan, saudara, teman, sekaligus pengambil keputusan dalam banyak lingkup kehidupan. Dengan ikut serta memahami realitas menstruasi dan pilihan produk yang ada, mereka bisa menjadi bagian dari solusi untuk mendukung kebijakan ramah lingkungan dan membantu membangun ekosistem yang lebih peduli. Intinya, semakin banyak orang yang paham, semakin besar juga peluang masalah ini untuk menjadi highlight dan segera ditangani.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun