Mohon tunggu...
Suri Aini Iswarani
Suri Aini Iswarani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan yang sedang belajar menulis. Pencatat drama hidup, dan bereksperimen lewat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

MBG: Makan Bergizi Gratis atau Makanan Bikin Gawat?

26 September 2025   22:50 Diperbarui: 26 September 2025   22:47 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Adalah hal menarik ketika mengobrol dengan ibu-ibu yang makin hari makin kritis dan melek program pemerintah, bukan hanya mengkritisi hutang tetangga. Salah satu yang mereka bicarakan adalah program MBG (Makan Bergizi Gratis) yang sekarang sedang dihighlight soalan keracunannya.

Sampai per tanggal 22 September 2025, ditemukan sebanyak 5.626 kasus keracunan akibat MBG di puluhan kota dan kabupaten di 16 provinsi (BBC.com). Belum lagi pada 25 September 2025 di Bandung Barat sebanyak 1.333 kasus (detik.com).

Bayangkanlah jumlah itu. Sama dengan satu sekolah SMA yang alih-alih mengantri MBG, malah mengantri masuk IGD. Angka ini membuat kita bertanya: yang gratis itu makanannya atau racunnya?

Sebelum masuk ke ranah formal, aku tuliskan dulu perkataan seorang ibu tadi: "Mending kasi uang aja kita mah. Di masak di rumah lebih enak, anak juga suka. Kualitas, dijamin aman. Masa kita mau racunin anak sendiri?"

Singkatnya, MBG adalah program unggulan pemerintah untuk menekan angka stunting dengan memberi makanan sehat bergizi. Program ini juga diharapkan meringankan beban orang tua. Menurutku, gagasan ini nyaris sempurna. Anak kenyang, orang tua tenang, negara tampak senang.

Namun, masalah MBG tidak bisa diremehkan. Berbeda dengan proyek negara lain yang masalahnya hanya di ruang rapat atau laporan kertas, persoalan MBG hadir langsung di meja makan siswa. Pertanyaan pun muncul: mengapa makanan tidak higienis bisa sampai ke tangan siswa? Bagaimana proses memasak, suplai bahan, hingga penyimpanan sehingga masalah keracunan bisa berulang?

Biasanya, dapur MBG bekerja sama dengan vendor yang menyuplai bahan makanan sekaligus mengelola distribusi. Tapi, barangkali pemerintah terlalu fokus pada kuantitas ketimbang kualitas. Standar gizi memang ditulis, tapi praktik lapangan bisa longgar. Mulai dari jenis bahan yang diolah, proses memasak, sampai kebersihan alat makan. Tanpa uji kualitas rutin, makanan bermasalah tetap bisa lolos.

Rantai distribusi pun panjang: vendor--dapur--sekolah--siswa. Jika satu saja lalai, makanan bisa cepat basi. Ditambah lagi, di dapur, bukan chef hotel berbintang yang memasak, tapi pekerja yang mungkin tak dilatih soal keamanan pangan. Masalah sederhana seperti cuci tangan, kebersihan alat, atau penyimpanan yang salah bisa berakibat fatal.

Lebih parah, vendor bisa saja menekan biaya demi menang tender. Harga ditekan, kualitas turun. Hasilnya, bahan murahan dipakai, tapi tetap diolah dan dikirim ke sekolah. Maka tak heran bila kasus keracunan terjadi berulang.

Solusi tentu bukan sekadar menambah anggaran atau menuding vendor. Yang dibutuhkan adalah pengawasan berlapis: aturan ketat, uji kualitas harian, audit mendadak, serta keterlibatan sekolah dan orang tua. Akan lebih bijak juga jika distribusi tidak dimonopoli vendor besar. UMKM lokal atau dapur sekolah bisa dilibatkan, dengan menu yang sesuai budaya dan makanan daerah.

Jika program ini hanya menimbulkan trauma dan ketidakpercayaan, tujuan mulia menekan stunting justru gagal total. Siswa enggan menyentuh makanan, orang tua makin sinis, negara rugi anggaran. Karena itu, solusi tidak berhenti pada gizi saja, tapi juga kualitas dan keamanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun