Seperti tidak terbendung. Pedagang kaki lima seakan terus merangsek, mengepung masjid kebanggaan umat Islam tersebut. Mereka menempati trotoar, jalanan, ruang publik, dan segala ruang kosong sekitaran masjid.
Masjid Istiqlal. Masjid negara ini berada tak jauh dari Istana Presiden dan pusat pemerintahan. Berdiri di atas lahan 9,3 hektar. Di tengah landscape melintas sungai ciliwung, meliuk dari selatan ke utara dan barat. Melengkapi keindahan tata ruangnya.
Tak jauh dari masjid, ada taman Lapangan Banteng, yang kini semakin molek, destinasi masyarakat berolahraga, pameran dan aktivitas lainnya. Seberangnya ada Kementerian Agama, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Keuangan serta lembaga pemerintahan lainnya.
Sementara, berhadapan dengan masjid adalah Gereja Katedral. Gereja terbesar umat katolik ini telah berdiri jauh sebelum Istiqlal. Dalam sejarahnya, Istiqlal bermakna merdeka ini bangun sejak era presiden Sukarno dan diresmikan era presiden Suharto pada 1978 silam.
Berpagar tembok dan besi kokoh setinggi dua setengah meter. Memiliki tujuh pintu masuk, tiga di sisi selatan, tiga di sisi utara, dan satu berhadapan dengan Gereja Katedral. Setiap Sabtu dan Minggu, jemaat misa Katedral manfaatkan lahan parkir masjid Istiqlal. Inilah contoh nyata toleransi umat di Indonesia.
Namun, melihat kondisi terkini sekitaran masjid Istiqlal, terasa miris. Terutama jumat, hari yang menurut pemahaman umat islam sebagai hari bersih-bersih. Di sini justru sebaliknya. Sesak bukan saja oleh jemaah yang hendak laksanakan shalat jumat, tapi penuh oleh pedagang kaki lima.
Setiap jumat, masjid ini berubah layaknya pasar. Segala macam jenis jualan tersedia. Harga pun relatif masuk kantong. Makanan, minuman, perkakas, mainan, sampai plastik bungkus sandal. Di sela itu, tidak sedikit pengemis pun ikut menadah rezeki.
Pintu masuk, tidak lagi nyaman untuk dilewati jemaah. Tenda lapak, gerobak dan kursi pedagang kaki lima berdiri sejak pagi. Tak teratur, semrawut, dan kumuh. Itulah kesan yang didapatkan hampir setiap jumat, ketika hendak jumatan. Untuk masuk masjid, harus lewati sela warung, meja dan kursi pedagang.
Trotoar yang mestinya untuk kenyamanan berjalan, atau halte dan ruang publik lainnya, sudah berubah fungsi. Berhiaskan gelaran lapak, beraneka rupa dagangan dijajakan.
Kehadiran pedagang ini tidak cukup di luar pagar, atau halaman masjid. Lebih dari itu, pelataran pun tak luput dari incaran lapak dagangan. Sepanjang jalan masuk pengemis bertebaran, menambah kesan kumuh, nan kurang elok dipandang mata.
Keadaan selain hari Jumat, sebenarnya tidak jauh berbeda. Pedagang di trotoar dan pintu masuk relatif longgar. Meski demikian masih tetap ganggu jemaah masuk ke masjid, terutama saat shalat lima waktu. Kondisi ini membuat petugas kebersihan harus kerja ekstra bersihkan semua sisa kotoran saat pagi.
Sejalan dengan itu, tengok sedikit ke sisi barat masjid Istiqlal. Tepatnya di bawah rel kereta. Di sini terdapat akses jalan satu arah dari jalan Juanda menuju jalan Perwira. Sepanjang jalan sempit ini, berjejal ratusan gerobag kaki lima. Rata-rata mereka jajakan makanan dan minuman.
Tiga tahun lalu, jalanan ini relatif tidak ada pedagang. Seiring waktu, mulai satu bertambah dua, seterusnya dan akhirnya kini, ratusan. Saat ramai jalan itu praktis tidak bisa digunakan melintas kendaraan.
Layaknya kampung, sejak pagi buta nampak geliat aktivitas. Sebagian masih terlelap tidur dengan alas ala kadarnya. Sementara lainnya mulai cuci beras, nyalakan kompor siapkan kuliner dagangan. Ada juga yang memanfaatkan aliran sungai ciliwung untuk keperluan hajat.
Permasalahan berikutnya ketersediaan air bersih, sampah, higienitas, dan kehidupan laik sehat di area tersebut. Setiap pagi, bertumpuk sampah di pojokan masjid dan saluran air. Air buangan pedagang kaki lima mencemari, timbulkan bau kurang sedap.
Sebagai masjid negara, sudah semestinya menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Selalu ramai oleh wisatawan domestik, dan luar negeri. Mereka datang untuk wisata religi, selain juga melihat kemegahan arsitektur karya Fredrerich Silaban.
Masjid ini juga menjadi pusat aktivitas keagamaan. Keberadaannya menjadi magnet umat Islam dalam menyelenggarakan kegiatan rutin dan besar. Berbagai peristiwa keagamaan besar di Jakarta, sedikit banyak masjid ini berikan andil.
Sejak bulan Juli 2019 kemarin, masjid ini berbenah, renovasi besar-besaran setelah 40 tahun sejak berdiri. Meski dibilang besar, renovasi ini tidak mengubah artisek utama. Perbaikan pengelolaan parkir, percantik marmer yang sudah mulai kusam dan penataan sanitasi itu fokusnya.
Masjid ini rumah Allah, siapapun masuk hanya satu tujuan, beribadah. Sudah sepantasnya kita jaga dan kita berikan kedudukan sebaik-baiknya tanpa mengotorinya. Semoga para pihak, pengelola masjid, Dinas tata kota, Dinas kebersihan, pengunjung, jemaah masjid, dan lainnya ikut menjaganya.
Kami menunggu. Perbaikan penampilan semestinya bisa diiringi perbaikan tata kelola lingkungan sekitarnya dan mampu berikan kesan Masjid Istiqlal sebagai Masjid Negara kebanggaan umat Islam Indonesia.