Mohon tunggu...
Rosiana
Rosiana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

A reluctant learner.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Suka Duka Menjadi Buruh Kimia (Part 2)

3 Maret 2019   20:43 Diperbarui: 30 Maret 2022   14:26 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Settttt langsung dong itu perkataan menusuk ke hati! Eh enggak deh, masuk telinga dulu baru berlabuh ke hati ha-ha-ha! Saat itu juga jujur aja saya langsung sakit hati dikatain begitu sama atasan sendiri. Dalem hati saya hanya bisa ngebatin,

"Andai Ibu tau, saya bisa sampai mengerti perhitungan ini tuh butuh perjuangan empat tahun loh Bu... empat tahun... enggak sebentar Bu... udah syukur saya bisa memecahkan perhitungan ini. Kenapa Ibu ga bisa sedikit aja ngehargain usaha saya sih Bu?"

Saya hanya bisa mengatakan itu di dalem hati. Yang terlihat apa? Ya saya pura-pura tegar dan melanjutkan hidup. Eh, melanjutkan perhitungan maksudnya...

Nah, singkat cerita perhitungan selesai. Didapat lah hasilnya. Setelah dikroscek ternyata hasil perhitungan saya dan perhitungan atasan itu SAMA! WOW! Artinya apa? Berarti cara saya enggak salah dong? Cara saya bener kan? Karena hasil akhirnya ya sama!

Tapi lagi dan lagi, bukannya diapresiasi saya malah dikata-katai. Sakit hati ini, sungguh. Saya masih ingat saat itu reaksi atasan saya kurang lebih begini:

Dengan nada yang super duper sinis beliau bilang,

"Kamu itu beneran lulusan SMK Analis Kimia? Masa ngitung kaya gini aja muter-muter. Paham enggak sih sebenernya? Masa enggak bisa pake perhitungan yang lebih singkat? Kalo kamu ngitung gini terus, abis waktu kamu buat ngitung! Coba deh belajar lagi yang bener!"

Jujur saya yang waktu itu masih umur 18 tahun dihadapkan pada kenyataan seperti itu langsung lemes. Bukan lemes badan, tapi lemes hati! Makan ati cuy! Ha-ha. Ya lumayan sih untuk menerima kenyataan itu saya butuh waktu. Pasca kejadian itu saya langsung ngelamun, lalu sholat ashar. Saya berdoa kepada Allah SWT agar diberi kekuatan. Itu saja. Enggak lebih.

Kejadian itu untungnya terjadi menjelang waktu bubaran kerja, jadi enggak mengganggu pekerjaan setelahnya. Tapi selama di perjalanan pulang dari tempat saya bekerja ke rumah saya tidak bisa melepaskan semua perkataan atasan yang dilontarkan ke saya. Semua perkataan itu saya serap dalam-dalam. Saya pikirkan terus-menerus tanpa henti. Bahkan sampa di rumah pun saya masih memikirkan kejadian itu.

Batin saya rasanya campur aduk, beribu pertanyaan tanpa henti menguji batin saya

"Apa saya sebodoh itu?", "Apa saya memang tidak becus dalam bekerja?", "Apa salah kalau saya lelet dalam menghitung?", "Sampai kapan saya harus dibeginikan oleh atasan?", "Apa tidak ada sedikit pun pekerjaan yang saya lakukan dengan baik?", atau "Apa saya tidak berguna?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun