Karena itu, pada setiap bulan puasa walaupun saya tidak berpuasa tapi saya ikut sibuk untuk setiap hari Sabtu memasak aneka ragam masakan bagi teman-teman yang mau berbuka puasa dirumah kami.Â
Tidak satupun dari mereka yang merasa perlu bertanya, ini daging apa? Karena mereka sudah tahu dan yakin, bahwa dirumah kami tidak ada masakkan yang haram. Mengingat adik ipar dan beberapa keponakan kami juga beragama islam dan mereka sering makan bersama dirumah kami.
Saking merasa seperti dirumah sendiri maka teman-teman yang datang dengan bebas membuka kulkas dan lemari makanan. Mereka sudah menganggap rumah kami seperti rumah mereka sendiri. Teman-teman tidak malu-malu untuk  mengambil apa yang disukai, tanpa perlu di sodor sodorkan.Â
Kami senang menyaksikan cara mereka, karena kami merasa mereka seperti  keluarga sendiri Bahkan bila semua sudah selesai makan maka teman teman tidak sungkan untuk minta dibawa pulang.Â
Bagi kami sama sekali tidak merupakan hal yang memberatkan, mengingat pada waktu itu usaha kami sedang berjalan dengan lancar dan rumah  kami di Wisma Indah, cukup luas untuk menampung sekitar 30 orang teman teman.
Terkadang mereka lebih suka membawa piring nasinya ke pinggir kolam renang untuk sambil duduk santai menikmati makanan yang disediakan. Ketika kami adakan acara perpisahan, ketika akan pindah ke Jakarta teman-teman datang  dan memeluk kami. Bukan karena masalah sepiring nasi, melainkan karena rasa persahabatan yang tidak terganggu oleh sekat-sekat perbedaan.
Kini semuanya tinggal merupakan kenangan indah, yang tidak mungkin lagi kami dapatkan. Walaupun disini kami terkadang ikut dalam acara berbuka puasa bersama sesama orang Indonesia, namun karena belum begitu akrab maka suasana pun berbeda.
25 Mei 2019.
salam saya,
Roselina