Kelas menengah sering disebut sebagai "mesin" pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan daya beli yang relatif stabil dan kontribusi besar terhadap konsumsi rumah tangga, kelompok ini menjadi penopang utama lebih dari setengah Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, dalam beberapa tahun terakhir, posisi kelas menengah berada di persimpangan yang dilematis. Di satu sisi, mereka didorong untuk terus berperan sebagai motor pertumbuhan melalui belanja, investasi pendidikan, hingga kredit perumahan. Di sisi lain, tekanan inflasi---mulai dari kenaikan harga pangan, energi, hingga biaya hidup perkotaan---membuat kelas menengah rawan tergelincir kembali ke lapisan bawah. Pertanyaannya, apakah kelas menengah Indonesia masih mampu menjadi pendorong pertumbuhan, atau justru perlahan berubah menjadi korban inflasi yang terjebak dalam ketidakpastian ekonomi?
Tekanan Inflasi yang Menggerus Daya Beli
Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi menjadi bayang-bayang yang mengikis kekuatan kelas menengah. Kenaikan harga pangan, energi, dan transportasi publik membuat biaya hidup melampaui kenaikan pendapatan. Banyak keluarga kelas menengah harus memangkas pengeluaran non-esensial seperti hiburan, liburan, atau tabungan, demi menjaga kebutuhan pokok tetap terpenuhi. Lebih ironis lagi, sebagian kelas menengah "rentan"---yang hanya sedikit di atas garis kemiskinan---mudah sekali terperosok kembali ke lapisan bawah ketika terjadi guncangan ekonomi.
Paradoks: Motor Pertumbuhan vs Korban Inflasi
Di sinilah muncul paradoks. Pemerintah berharap kelas menengah tetap menjadi mesin pertumbuhan dengan menjaga konsumsi. Namun, realitanya, daya beli mereka terkikis sehingga belanja yang dulunya menopang pertumbuhan kini justru melambat. Akibatnya, kelas menengah berada di posisi dilematis: diminta untuk menggerakkan roda ekonomi, tetapi pada saat yang sama dipaksa bertahan dari tekanan inflasi yang terus menghimpit. Jika kondisi ini berlanjut, risiko terjebak dalam middle-income trap---kelas menengah yang stagnan dan sulit naik ke kelas menengah atas---semakin besar.
Tantangan Kebijakan Ekonomi
Masalah semakin kompleks ketika kebijakan ekonomi sering kali tidak memberi ruang perlindungan yang cukup bagi kelas menengah. Subsidi lebih diarahkan pada kelompok miskin, sementara kelas menengah dibiarkan menghadapi kenaikan pajak konsumsi dan biaya hidup yang terus meningkat. Misalnya, kenaikan tarif PPN dan harga energi lebih terasa bagi kelas menengah rentan yang tidak cukup miskin untuk menerima bantuan, namun juga tidak cukup kaya untuk menanggung beban tambahan dengan nyaman. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah desain kebijakan fiskal kita benar-benar adil bagi kelompok penopang utama ekonomi ini?
Jalan Keluar: Menjaga Keseimbangan
Kelas menengah tidak seharusnya dipandang hanya sebagai mesin pertumbuhan, tetapi juga sebagai kelompok yang perlu dijaga keberlanjutannya. Kebijakan pajak yang lebih progresif bisa memastikan beban pembangunan ditanggung lebih besar oleh kelompok berpendapatan tinggi. Stabilisasi harga pangan dan energi akan sangat membantu menjaga daya beli. Di sisi lain, akses pembiayaan terjangkau untuk pendidikan, perumahan, dan usaha kecil akan membuka peluang mobilitas sosial ke arah yang lebih tinggi. Transformasi digital dan ekonomi kreatif juga dapat menjadi jalur baru bagi kelas menengah untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan.
Dapat di simpulkan bahwa kelas menengah diibaratkan sebagai jangkar yang menahan stabilitas perekonomian. Namun jangkar ini perlahan bisa berkarat jika terus digerus inflasi tanpa perlindungan kebijakan yang memadai. Pertanyaannya, apakah kita rela melihat kelompok yang selama ini menopang pertumbuhan justru kehilangan kekuatannya? Menyelamatkan kelas menengah berarti menyelamatkan arah ekonomi bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI