Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Pengemis Zaman Now, Terpaksa atau Profesi?

9 Maret 2020   13:37 Diperbarui: 9 Maret 2020   13:52 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. CNN Indonesia | Pengemis Profesional di Dubai Bisa Raup Rp982 Juta Per Bulan


Beberapa bulan lalu saya pernah berkunjung ke Jakarta, karena urusan pekerjaan. Menetap beberapa pekan. Di sekitaran Mangga Dua.

Pada suatu kesempatan libur, dengan niat berbelanja minyak harum ke Mangga Dua. Sepulang dari belanja, di pinggir jalan menuju penginapan seorang ibu setengah tua, rambut hampir semua putih, lusuh. Keringatnya mengucur, padahal tak terlihat tanda-tanda telah selesai berjalan jauh. Entah karena pandangan saya atau apa, sepertinya ibu itu terlihat sedang pucat.

Ibu tersebut menghentikan langkah saya yang kebetulan melintas di depannya. Di depan mini market ibu itu duduk. Melambai ke arah saya. Saya tak khawatir, tak mungkin ibu itu berbuat jahat. Sekiranya pun jahat, pasti saya lebih kuat untuk melawan.

Saya berhenti mendekati. "Nak, tolong." Lirih suaranya. Saya membungkuk. Menanti apa yang akan diucapkannya. "Saya kehausan. Mau minum," katanya. Saya kebingungan. Benar-benar tak terpikir kalau di dalam market ada org jual minuman.

Saya hanya membungkuk sambil berpikir, apa yang harus saya lakukan. Lama ibu itu menatap saya. Kami saling tatap. Saya amati dari kaki hingga kepala. Orang gilakah ini? Pikir saya. Dasar saya paling yang gila. Jelas-jelas orang sedang kehausan dikira gila.

"Mau beli minum, tak punya uang." katanya membuyarkan kebingungan saya.

Maka segera saya rogoh saku. Kebetulan ada uang 10 ribuan. Uang itulah yang saya berikan. Perempuan setengah tua itu, tak mengucapkan terimakasih. Tersenyum tanda senang pun tidak. Saya tersenyum kemudian berlalu.

Sambil menjauh saya perhatikan gerak gerik ibu itu. Benar! Setengah tertatih, ibu itu berdiri berpegangan ke daun pintu masuk ke dalam market. Dan kemudian ke luar lagi membawa sebotol air mineral. Meminumnya, dan lama botol minuman itu ada di mulutnya. Saya berpikir, berarti ibu itu benar-benar kehausan.

Timbul penyesalahan yang sangat dalam, alangkah bodohnya diriku. Mengapa tidak dari tadi saja saya yang masuk ke mini market dan membelikan minuman manis serta beberapa bungkus roti untuk pengganjal perutnya. Harusnya 20 ribu atau 50 ribu, siapa tau bisa buat beli nasi atau bekal pulang.

Rasa kehausan dan kelaparan memang sungguh tidak nyaman. Saya sering mengalami kehausan dan kelaparan. Bukan karena kemiskinan atau tak ada makan dan minuman. Namun, ketika itu sedang berada di tengah sawah. Maklum hobi saya adalah mancing ikan di sawah.

Tiba-tiba saja merasa gemetar dan lemas. Keringat dingin mengucur deras. Pandangan berkunang-kunang. Suatu ketika pernah tergeletak di pondok di tengah sawah. Tak kuat pulang. Padahal kendaraan ada di dekat badan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun