Indonesia menghadapi paradoks yang mencengangkan. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, populasi terbesar keempat dunia, dan kekayaan alam melimpah, Indonesia justru terjebak sebagai konsumen teknologi global. Sementara Korea Selatan mengekspor Samsung dan LG, Tiongkok melahirkan Huawei dan DJI, bahkan India menjadi pusat layanan IT dunia, Indonesia masih berkutat mengimpor hampir seluruh kebutuhan teknologinya.
Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan defisit neraca perdagangan produk teknologi Indonesia mencapai USD 15,2 miliar. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin kegagalan sistemik dalam membangun ekosistem inovasi nasional. Pertanyaannya: mengapa negara dengan 275 juta penduduk ini gagal melahirkan produsen teknologi kelas dunia?
Jejak Sejarah yang Terputus: Warisan Kolonial hingga Orde Baru
Era Industri Strategis yang Terlupakan
Periode 1970-1990an sebenarnya menyaksikan ambisi besar Indonesia menjadi produsen teknologi. Di bawah kepemimpinan B.J. Habibie, lahirlah IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia), PT PAL, dan PT Pindad. Pesawat N-250 Gatotkaca hampir menjadi simbol kebangkitan teknologi nasional sebelum krisis 1998 menghentikan segalanya.
Namun, pendekatan top-down era Orde Baru menciptakan ketergantungan pada subsidi negara tanpa membangun ekosistem inovasi organik. Ketika krisis moneter melanda, industri strategis ini kolaps tanpa jejak berarti. Berbeda dengan Korea Selatan yang justru menggunakan krisis 1997 sebagai momentum restrukturisasi industri teknologinya.
Reformasi: Harapan yang Pupus
Era reformasi membawa demokratisasi, namun ironisnya justru menjauhkan Indonesia dari ambisi teknologi. Otonomi daerah menciptakan fragmentasi kebijakan industri. Sementara itu, liberalisasi ekonomi tanpa proteksi strategis membuat pasar domestik dibanjiri produk impor murah, mematikan embrio industri lokal.
Anatomi Kegagalan: Hambatan Struktural Sistemik
1. Krisis Ekosistem Riset dan Pengembangan
Indonesia mengalokasikan hanya 0,28% PDB untuk riset dan pengembangan (2022), jauh di bawah Korea Selatan (4,81%), Tiongkok (2,41%), atau bahkan Malaysia (1,04%). Lebih memprihatinkan, dari anggaran minim tersebut, mayoritas terserap untuk belanja rutin, bukan riset substantif.
Universitas-universitas top Indonesia terjebak dalam orientasi pengajaran, bukan riset. Indikator kinerja dosen yang menekankan kuantitas publikasi tanpa mempertimbangkan dampak industri menciptakan riset-riset "menara gading" yang terputus dari kebutuhan nyata.
2. Sindrom SDM: Kuantitas Tanpa Kualitas
Dengan 9,3 juta mahasiswa aktif (2023), Indonesia seharusnya memiliki modal manusia berlimpah. Namun, hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 64 dari 81 negara untuk literasi sains dan matematika.
Lebih krusial, terjadi mismatch akut antara lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri teknologi. Survei McKinsey (2023) mengungkap 87% perusahaan teknologi di Indonesia kesulitan menemukan talenta berkualitas, terutama untuk posisi software engineer, data scientist, dan AI specialist.
3. Regulasi yang Membelenggu Inovasi
Peraturan Presiden No. 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (meski telah direvisi) mencerminkan mentalitas birokrasi yang risk-averse. Procurement pemerintah, yang seharusnya menjadi katalis industri teknologi lokal, justru didominasi spesifikasi teknis yang menguntungkan produk impor mapan.