Banyak faktor yang membuat sebagian besar Generasi Z (lahir 1997--2012) cenderung menjadi agnostik atau setidaknya tidak terikat kuat pada agama tertentu. Fenomena ini terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, walaupun di sini konteksnya lebih unik karena ada tekanan sosial dan hukum terkait identitas agama.
Berikut faktor-faktor utamanya:
1. Akses Informasi yang Terbuka
- Gen Z tumbuh di era internet tanpa batas, sehingga mereka terekspos pada beragam pandangan---agama, filsafat, sains, bahkan kritik terhadap agama---sejak remaja.
- Hal ini memunculkan critical thinking lebih dini, sehingga dogma yang tidak rasional atau bertentangan dengan data sains lebih mudah dipertanyakan.
2. Kekecewaan terhadap Institusi Keagamaan
- Banyak kasus korupsi, skandal moral, atau kekerasan yang melibatkan tokoh agama menimbulkan rasa muak dan hilangnya kepercayaan terhadap institusi, walau belum tentu pada ajaran moralnya.
- Di beberapa tempat, agama dirasa terlalu dipolitisasi sehingga kehilangan kesan suci di mata generasi muda.
3. Pergeseran Nilai dan Prioritas
- Gen Z cenderung mengutamakan otentisitas, kebebasan memilih, dan individualisme.
- Mereka lebih fokus pada self-discovery daripada mengikuti tradisi hanya karena diwariskan.
4. Paparan Multikultural dan Multiagama
- Melalui media sosial, game online, pendidikan internasional, dan pariwisata, Gen Z berinteraksi dengan teman-teman dari latar belakang agama yang berbeda.
- Ini membuat mereka sadar bahwa "kebenaran" tidak tunggal dan membuka kemungkinan semua agama hanya interpretasi berbeda atas hal yang sama.
5. Pengaruh Sains dan Skeptisisme
- Kemajuan sains dan teknologi (AI, bioteknologi, kosmologi) membuat banyak penjelasan religius tradisional dianggap tidak relevan atau tidak perlu.
- Mereka cenderung memisahkan spiritualitas dari agama formal, dan lebih nyaman berada di wilayah "tidak tahu" atau agnosticism.
6. Perubahan Sosial dan Isu Kemanusiaan
- Gen Z sensitif terhadap isu kesetaraan gender, hak LGBTQ+, keadilan sosial, yang kadang bertentangan dengan interpretasi agama konservatif.
- Ketika agama dianggap menghambat reformasi sosial, sebagian memilih menjauh.
7. Agnostisisme sebagai Sikap "Aman"
- Di negara yang menjunjung kebebasan beragama, agnostik menjadi posisi netral: tidak menolak adanya Tuhan, tapi juga tidak mengklaim tahu pasti.
- Ini menghindarkan perdebatan dogmatis sambil tetap membuka diri terhadap perubahan pandangan di masa depan.
Catatan
- Agnostik tidak selalu berarti "tidak percaya pada Tuhan" (itu ateisme), tapi lebih pada tidak mengklaim pengetahuan pasti tentang keberadaan Tuhan.
- Fenomena ini bukan berarti Gen Z "lebih buruk" atau "kurang bermoral" --- justru banyak studi menunjukkan generasi ini tetap peduli pada etika, keadilan, dan kemanusiaan, hanya saja sumber moralnya tidak selalu dari agama formal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI