Namun, di balik angka fantastis itu, terselip ironi. Ekonom Faisal Basri misalnya, menilai bahwa 99 persen produk hilir justru diekspor kembali ke Tiongkok. Indonesia hanya menjadi "pabrik raksasa" yang memproses bahan mentah menjadi setengah jadi, tanpa menguasai teknologi, tanpa kendali penuh atas rantai pasok. Bahkan royalti yang seharusnya masuk kas negara kerap diabaikan, sementara daerah penghasil hanya menerima sedikit sekali bagian.
Dengan kata lain, hilirisasi memang meningkatkan penerimaan negara secara agregat, tetapi belum menjawab pertanyaan paling mendasar: untuk siapa kekayaan ini dieksploitasi?
Luka Ekologis yang Tak Terhitung
Setiap kali bicara soal tambang, jangan lupa menghitung biaya sosial dan lingkungan. Di Sulawesi Tengah, reklamasi tambang minim pengawasan. Hutan gundul, sungai penuh sedimen, laut tercemar limbah smelter. Masyarakat adat kehilangan tanah ulayat mereka. Nelayan terpaksa berhenti melaut karena perairan tak lagi bersih.
Kerusakan ini bukan sekadar catatan lingkungan hidup, melainkan biaya yang harus ditanggung generasi mendatang. Sayangnya, biaya ini tidak pernah masuk dalam neraca negara. Negara hanya menghitung angka ekspor, pajak, dan PNBP. Padahal kerugian ekologis bisa jauh lebih besar ketimbang penerimaan jangka pendek.
Sebuah Kebijakan yang Kontraproduktif?
Jika ditimbang, kebijakan tax holiday hingga 25 tahun justru kontraproduktif. Nikel---sumber daya alam yang tak terbarukan---bisa habis dalam 10 tahun. Tetapi investor bebas menikmati insentif hingga dua setengah dekade. Pertanyaannya sederhana: siapa sebenarnya yang diuntungkan?
Bagi investor asing, jelas ini surga. Mereka datang, meraup cadangan mineral, menikmati keringanan pajak, lalu pergi ketika sumber daya habis. Bagi negara? Ya, ada tambahan penerimaan, tetapi tidak sebanding dengan kerugian lingkungan, sosial, dan hilangnya cadangan strategis.
Bagi daerah penghasil? Jelas rugi dua kali: rusak lingkungannya, kecil pendapatannya.
Harapan di Tengah Kritik
Pemerintah sebenarnya mulai merespons kritik ini. Tahun 2025, Pemerintah mengeluarkan aturan baru mengenai royalti dinamis: tarif royalti bijih nikel dinaikkan dari 10 persen menjadi 14--19 persen, termasuk produk olahan seperti feronikel dan NPI. Selain itu, tax holiday untuk smelter baru di bidang NPI/FeNi mulai dicabut. Langkah ini patut diapresiasi, meski baru tahap awal.