"Otak yang Pergi, Negeri yang Mati: Ketika Anak Bangsa Membangun Dunia, Tapi Bukan di Tanah Sendiri.
Di negeri ini, orang pintar pergi karena tidak dihargai, dan yang bertahan belajar untuk bertahan hidup, bukan untuk membuat hidup lebih baik.
Bayangkan ini:
Seorang ilmuwan Indonesia di NASA sedang menyusun algoritma untuk misi Mars berikutnya.
Seorang lagi, lulusan terbaik ITB, sedang merancang AI untuk sistem mobil otonom di Jepang.
Di satu sisi dunia, anak-anak kita membangun masa depan.
Namun sayangnya---bukan di sini.
Bukan untuk Indonesia.
Selamat datang di kenyataan pahit bernama brain drain---dan selamat datang di negeri yang terus kehilangan masa depannya demi rutinitas birokrasi dan pesta elite politik.
Apa Itu Brain Drain dan Mengapa Kita Harus Peduli?
"Brain drain" adalah ketika otak terbaik---insinyur, ilmuwan, teknolog, akademisi---pergi ke luar negeri dan enggan kembali.
Mereka pergi bukan karena tak cinta tanah air. Tapi karena di tanah air, cinta mereka dianggap beban.
Fasilitas penelitian bobrok.
Proposal riset dikembalikan karena salah format.
Gaji peneliti lebih rendah dari influencer TikTok.
Dan ketika mereka berbicara tentang perubahan, yang menyahut adalah dinding birokrasi, bukan dukungan.
Indonesia: Tanah Subur untuk Talenta, Tapi Gersang untuk Bertumbuh
Menurut laporan Bank Dunia, lebih dari 1,5 juta WNI menetap di luar negeri, sebagian besar adalah profesional dan ilmuwan.
Kita kehilangan:
*Penemu algoritma canggih
*Insinyur teknologi nuklir
*Pakar kecerdasan buatan
*Perancang drone militer
Apa yang kita dapatkan sebagai gantinya?
Kebijakan yang anti-riset.
Proyek besar yang "copy-paste".
Dan promosi jabatan yang lebih menghargai loyalitas ketimbang kualitas.