Covid-19 dan Tantangan Etika Industri Farmasi Global: Sebuah Refleksi Kritis
Oleh: Ronald Sumual Pasir
Pandemi Covid-19 tak hanya mengguncang sistem kesehatan global, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap industri farmasi raksasa. Ketika virus menyebar ke seluruh penjuru dunia, harapan masyarakat global bertumpu pada vaksin dan terapi medis. Namun, yang terjadi justru menjadi ironi besar: akses vaksin tidak merata, paten dikunci, harga ditentukan sepihak, dan negara-negara miskin harus antre sambil bergantung pada belas kasih lembaga internasional.
Dalam buku kontroversial berjudul 'The Real Anthony Fauci', Robert F. Kennedy Jr. menggambarkan bagaimana industri farmasi dan birokrat kesehatan global menjadikan pandemi sebagai peluang bisnis. Meski banyak klaimnya menimbulkan kontroversi, sebagian kritiknya justru dibenarkan oleh para akademisi independen yang mengungkap dominasi 'Big Pharma' dalam menentukan arah kebijakan vaksin dunia.
Salah satu kritik paling keras datang dari Profesor Jeffrey Sachs, ketua The Lancet Covid-19 Commission. Dalam laporan tahun 2022, Sachs menyebut perlunya penyelidikan mendalam terhadap asal-usul Covid-19 karena ada indikasi bahwa kebijakan dan narasi publik telah dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara ilmuwan, lembaga pendanaan, dan perusahaan farmasi. Bahkan Sachs secara terbuka menyatakan bahwa potensi kebocoran laboratorium harus ditelusuri tanpa intervensi politik.
Kondisi ini menyoroti persoalan etika mendasar: apakah industri farmasi global benar-benar bertindak demi kemanusiaan, atau demi keuntungan? Ketika vaksin menjadi komoditas, siapa yang paling diuntungkan? Laporan dari Nature dan BMJ menunjukkan bahwa keuntungan perusahaan farmasi melonjak drastis selama pandemi, sementara negara berkembang menghadapi kesulitan logistik, keterbatasan distribusi, dan pembiayaan vaksin yang mahal.
Di sisi lain, WHO sebagai badan kesehatan dunia juga tidak luput dari kritik. Ketergantungan dana pada donor negara maju dan institusi farmasi membuat netralitas kebijakan WHO dipertanyakan. Saat negara-negara seperti Afrika dan Asia Tenggara meminta penghapusan sementara hak paten demi keadilan akses vaksin, negara-negara maju justru menolak dengan dalih perlindungan hak kekayaan intelektual.
Bagi negara seperti Indonesia, pelajaran dari pandemi sangat jelas: kita tidak boleh selamanya bergantung pada teknologi dan produksi luar negeri. Kemandirian bioteknologi dan transparansi pengambilan keputusan menjadi kunci. Indonesia harus berani berinvestasi dalam riset vaksin sendiri, membangun laboratorium genomik, dan memastikan bahwa kebijakan kesehatan berpihak pada rakyat, bukan pada tekanan pasar global.
Penting untuk ditekankan bahwa tulisan ini tidak bermaksud menyebarkan teori konspirasi atau menolak sains. Justru sebaliknya, refleksi kritis ini mengajak kita untuk tetap berpihak pada sains yang terbuka, independen, dan tidak dikendalikan oleh korporasi. Ilmu pengetahuan harus menjadi alat pembebas, bukan alat komersialisasi penderitaan manusia.
Penutupnya sederhana: pandemi berikutnya bisa saja datang. Pertanyaannya adalah: apakah kita akan kembali menyerahkan nasib pada pasar, atau membangun sistem kesehatan yang tangguh, adil, dan berdaulat?
Referensi:
- Sachs, J. et al. (2022). "The Origins of COVID-19: An Interdisciplinary Review". The Lancet.