Mohon tunggu...
Romi Febriyanto Saputro
Romi Febriyanto Saputro Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Bekerja di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen sebagai Pustakawan Ahli Madya. Juara 1 Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008. Email : romifebri@gmail.com. Blog : www.romifebri.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Buku Paket/Pelajaran Harus Selalu Berganti?

18 Maret 2018   20:03 Diperbarui: 18 Maret 2018   20:22 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Buku pelajaran atau buku paket sudah lama menjadi polemik dalam dunia pendidikan di tanah air. Setiap tahun ajaran baru, buku pelajaran ini selalu mengalami pergantian. Meski sudah dilarang oleh Menteri Pendidikan Nasional sampai saat ini praktik sekolah menjual buku kepada peserta didik masih berlangsung dengan "aman dan terkendali".

Secara resmi sekolah memang tidak pernah memaksa anak didik untuk membeli buku. Tetapi yang saat ini terjadi, ada pihak sekolah yang mengkondisikan anak didik agar membeli buku di sekolah sesuai dengan selera pihak sekolah. Sekolah berusaha semaksimal mungkin menghilangkan rasa nyaman pada anak ketika sang anak tidak membeli buku di sekolah.

Gejala semacam ini penulis rasakan ketika dulu penulis berusaha mengarahkan anak penulis yang duduk di kelas 3 SD (saat ini sudah di bangku SMA dengan situasi yang masih sama) agar menggunakan buku pelajaran milik kakak sepupunya pada sekolah yang sama. Alhamdulillah, anak saya menerima dengan baik. Penulis pun juga sudah meminta dukungan guru kelas agar memberi dorongan moril kepada anak saya meski tidak memakai buku baru.

Sepertinya rencana penulis akan berjalan dengan baik tetapi di tengah jalan masalah mulai muncul. Ada beberapa kebijakan sekolah yang menghambat, pertama, pihak pengajar tidak mengarahkan anak-anak untuk menuliskan jawaban soal dari buku pelajaran di buku tulis. Melainkan menuliskan jawaban langsung di buku pelajaran.

Kebijakan ini tentu saja menyebabkan buku pelajaran berfungsi seperti jarum suntik, hanya sekali pakai. Setelah itu tidak bisa diwariskan kepada adik-adiknya. Mengapa ? Karena sudah barang tentu buku itu berisi coretan-coretan jawaban sang kakak. Anehnya pula, guru juga langsung memberi nilai pada buku pelajaran.

Buku pelajaran yang difungsikan sebagai "jarum suntik sekali pakai" sangat memprihatinkan. Guru tidak mendidik murid untuk menjadi pemakai buku yang baik. Dalam dunia perbukuan, ada semacam kode etik untuk melestarikan buku. Buku dianjurkan tidak dicorat-coret, tidak dilipat kertasnya, dan tidak boleh terkena noda.

Hal ini agar sebuah buku terjaga kelestariannya. Sehingga buku ini dapat terus-menerus diambil manfaatnya oleh generasi sekarang maupun yang akan datang. Perlakuan yang baik pada sebuah buku secara kontekstual juga mendidik anak-anak agar bersikap hemat dan dermawan. Jika buku dalam kondisi bersih tentu dapat diwariskan pada adik-adik kelas melalui perpustakaan sekolah. Sikap kedermawanan semacam inilah yang seharusnya dibangun pada hati anak didik. Bukan mengajarkan pemborosan dalam menggunakan buku.

Arahan guru pada anak untuk menuliskan jawaban soal langsung pada buku pelajaran tanpa disadari merupakan proses pembelengguan ilmu pengetahuan. Sebuah buku yang seharusnya mampu memberi pengetahuan berulang-ulang bagi semua orang dibatasi perannya. Buku hanya boleh diambil manfaatnya oleh satu individu dan terbatas pada satu generasi saja.

Kedua, pergantian buku pelajaran dengan penerbit yang berbeda. Jika dulu pihak sekolah hanya bekerja sama dengan satu penerbit, sekarang pola ini sudah berubah. Pihak sekolah sekarang membagi secara "adil dan merata" buku pelajaran yang ada kepada banyak penerbit.

Misalnya, tahun ini untuk buku pelajaran matematika dan bahasa Inggris diberikan pada penerbit A. Sementara penerbit B memperoleh jatah untuk buku pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Untuk pelajaran PPKN dan Sains diberikan pada penerbit C.

Untuk tahun depan pola ini bisa mengalami persilangan antar penerbit. Mengapa? Mungkin agar proses pewarisan sebuah buku terhenti sekaligus melestarikan budaya ganti buku pada setiap tahun ajaran baru. Dan sekolah pun tanpa "terkesan memaksa" dapat memaksakan kehendaknya pada anak didik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun