"Untuk beberapa kasus, manusia sering menyalahkan binatang. Tikus, kelelawar, nyamuk, sapi, babi, selalu dikambinghitamkan", Agnes Mo masih tersisa disaluran napasku, "Padahal sebenarnya, manusialah penyebab dari segala wabah. Apakah kamu tidak berpikir kalau wabah ini bagian dari perang dagang di dunia farmasi? Mereka saja yang menamakan Corona agar nanti bila obat atau vaksinnya sudah selesai dibuat, bisa menjualnya dengan tawaran tertinggi"
"Aku tidak sampai berpikir begitu", kataku
"Kembalilah tidur agar sakitmu cepat sembuh. Berdoalah"
Aku hirup lagi Agnes Mo. Aku dipeluknya lagi. Ia menemaniku selama aku perlu. Kehangatannya memberi rasa tenang .
"Kenapa pemerintah tidak mengeluarkan status lockdown?"
"Kalau lockdown apa kamu siap? Mau makan apa? Memang kamu punya logistik untuk masa lockdown?", tanya Agnes Mo, "Pikir sakitmu dulu, jangan terpengaruh berita luar"
"Uangku cukup untuk beli logistik", sanggahku
"Sudahlah, jangan ngenyel. Finansialmu payah. Tak akan cukup untuk masa lockdown. Aku telah membukanya...."
"Matriih....", Aku kian terajam.
Menjalin tanya jawab dengan Agnes Mo membuat aku kerdil. Dia galak mirip guru Agama SMP ku dulu. Aku dibuat menyerah jika Agnes Mo membantah. Bila batuk menerjang aku selalu tergantung pada Agnes Mo. Kehangatannya membuat diriku melayang diawan. Aku kembali terlelap pulas diiringi lolongan anjing itu[selesai]