Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Madame Butterfly

21 Juni 2018   11:51 Diperbarui: 21 Juni 2018   11:55 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit memberikan tampilan berbeda tiap waktu. Kala hujan-didahului mendung bergulung-siramannya laksana cabikan mesin perontok padi. Memaksa bulir-bulir dicabut dari ranting  gantungan. Tidak sakit. Namun akan lain bila analoginya manusia yang mengalami.  

Dikampung kami tiap linimasa telah memberikan warna tersendiri bagi hubungan pertetanggaan. Sosialisasi bisa dianggap diktat astral untuk mengajarkan manusia mengasah kepekaan, empati, tenggang rasa, saling menghargai, memahami karakter, dan satu lagi-sebuah petunjuk keselamatan: hati-hati bila berbicara dengan Madame Butterfly!

Kenapa? Dan siapa Madame Butterfly? Adalah perempuan tua tinggal disebuah rumah gaya kontemporer berhalaman luas. Letaknya diujung jalan dengan posisi "tusuk sate" sebuah posisi penuh mala, kutukan, sial, para dedemit demen. Selalu berkebaya jawa kuno dibalut kain batik. Spesifikasinya: paras aristokrat mataram, kulit sawo matang, rambut selalu dikonde, "mendekati alam kubur"-stigma tambahan yang anak-anak kampung sampirkan- dan satu lagi perempuan itu kondang sering gagal mengendalikan mulutnya!

Cerita mengenai mulut licinnya sedahsyat perang Malvinas. Ranjau sarkatis lihai disasarkan ditengah pergaulan. Korban bertumbangan menitik dendam, air mata, perasangka negatif. Belum pernah ada perlawanan masif. Banyak pertimbangan mengerucut. Pertama, faktor usia-mendekati renta, celetukan yang berkembang malah mengatakan: "Malaikat Pencabut Nyawa enggan mencabut rohnya-disinyalir tidak tahan bau mulut yang menderu dari lubang. Kedua, kebaikan yang selalu terselip diantara limpahan retorika hitam. 

Ketiga, keramahan anaknya mereduksi kejengkelan warga kampung. Lebih baik menyingkir dari ocehannya. Biasanya si korban hanya mengheningkan diri. Kalau tidak kuat menempuh jalan curhat pada senasib sependeritaan.

Keseharian madame menunggu rumah besar bertekstur rindang dedaunan. Kerimbunan meniupkan semilir sejuk ditingkahi kicau burung menyebarkan suasana vegetasi hutan. Tanamannya beragam sungguh layak mendapat kalpataru.

Beliau mendirikan perpustakaan. Koleksinya banyak. Diantaranya serial silat karya Kho Ping Hoo, Jan Mintardja. Juga puluhan komik karya Wid Ns, Hasmi, Man. Marga T, Titi Said ikut menyesaki rak buku tuanya disamping buku-buku pengetahuan  dan biografi.

Anak-anak maupun remaja di tempat kami kadangkala menjadikan perpustakaan tersebut panggung rendezvous. Namun sudut pandang Madame selalu kontradiksi. Menurutnya itu hanya akal bulus kami. Akal bulus? sebuah paradoks diapungkan. Pohon Jambu merah dihalaman rumahnya target sampingan terselubung aktifitas membaca. Bila transaksi pinjam meminjam selesai mulut madame menyuruh anak-anak segera keluar dari wilayahnya. "Sepatutnya buku pinjaman dibaca ditempat lain, jangan disini". Ini lagu menghalau cecunguk-cecunguk kecil. Juga meminimalir tragedi.

Konspirasi jalan paling utama untuk mencicipi manis segar jambu. Banyak cara agar madame terpecah konsentrasi. Kami bersepakat mengisi penuh ruangan perpustakaan. Keriuhan mengurangi daya hantar madame. Sekelompok bandit kecil melakukan pembagian tugas. 

Gelombang besar beraksi membuat keriuhan taman bacaan. Riaknya menggasak jambu yang merimbun tidak begitu tinggi berdiri kokoh disepelemparan pintu perpustakaan. Pesta berkibar ganas. Cuma sayang, begajul-begajul kecil itu kadang lupa diri. 

Nafsu membekukan kewaspadaan. Kalau sudah begitu otaknya bisa berubah jadi dengkul. Jatuhnya rampasan perang dengan bunyi ber 'debuk-debuk' mengagetkan gendang telinga madame. Teriakan sengit merusak aksi mereka. Riak kecil kaget. Tubuh bergetar berkeringat. Tunggang langgang solusi jitu merelakan beberapa biji menggelundung ditanah. Debu kata-kata mengepul mengitari tempat kejadian perkara. Acungan kepalan tangan tersisa,"Awas! Aku laporkan orang tua kalian".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun