Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menanam Keguyuban, Menopang Kerukunan dengan Bermain Catur

25 Maret 2021   10:31 Diperbarui: 25 Maret 2021   10:59 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi. Sumber: pixabay.com

Kala menempuh pendidikan menengah, SMP-SMA, saya tinggal di sebuah asrama. Asrama itu terkenal dengan kedisiplinannya. Kehidupan para penghuninya sudah diatur ketat. Mulai dari bangun pagi pukul 4.30, hingga tidur malam pukul 22.00.

Waktu untuk berekreasi dilakukan pada malam pukul 21.00. Seusai belajar malam. Kesempatan ini dipakai untuk memirsa berita televisi, membaca koran, bermain kartu, karambol dan catur.

Saya mulai belajar catur di waktu dan tempat ini. Bermula diajak teman karena ketiadaan calon lawan. Dengan tekad bulat, saya berani bermain. Hasilnya, selalu panen kekalahan. Akhirnya, saya tahu bermain catur, tapi tidak candu. Meski catur adalah olahraga asa otak yang tepat bagi seseorang yang gemar menulis.

Setelah berkeluarga dan hidup dalam komunitas sosial kecil selevel RT/RW, saya mendapatkan teman, keluarga-keluarga muda yang punya hobi bermain catur. Maka, setiap akhir pekan, atau hari Minggu dan Libur, waktu diisi untuk bermain catur.

Bahkan mereka membentuk grup WA sendiri. Grup WA catur. Beranggota 10-15 orang (para suami). Fungsinya, untuk berdiskusi tentang catur dan mempermudah koordinasi, seperti menentukan tempat dan waktu yang pas untuk bermain.

Suatu kali, saya pernah melihat percakapan grup WA mereka. Isinya juga saling mengolok (baku ganggu), tapi untuk menghidupkan suasana, agar semakin merawat keakraban.

Hal lain turut menjadi bahan candaan dalam grup WA mereka. Termasuk pada kehidupan keluarga. Misalnya, sementara bermain catur dipanggil oleh istri. Mungkin istri meradang, lantaran setiap hari minggu tidak ada waktu bersama keluarga. Sang suami cenderung memilih bermain catur bersama tetangga, daripada membawa istri dan anak jalan-jalan ke pantai.

Berawal dari grup catur, saya merasakan, kelompok mereka selalu kompak. Terutama dalam kegiatan-kegiatan bersama di tingkat RT/RW, desa dan kelompok umat basis (KUB) Gerejawi. Mereka sudah saling ingatkan, hadir tepat waktu. Mereka saling mendukung dan membantu. Sambil bekerja, mereka menyertakan topik obrolan dan candaan khas grup mereka-sesama penggemar catur.

Hal ini membuat suasana kerja bersama semakin hidup. Warga yang bukan bagian dari kelompok mereka turut terhibur. Pekerjaan terasa ringan. Cepat selesai.

Bermain catur menjadi salah satu cara terbaik menanam keguyuban sebuah komunitas, kampung, RT/RW dan KUB. Bermain catur semakin membuat sebuah entitas sosial solid. Sama seperti grup bermain kartu dan kelompok arisan. Grup bermain catur di tingkat RT/RW dan KUB dapat menghidupkan suasana kebersamaan. Ia merawat keakraban dengan tetangga. Ia pun bisa menopang kerukunan warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun