Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Di NTT Angka "Stunting" Masih Tertinggi, Sanitasi Kian Terabai

17 Maret 2021   11:25 Diperbarui: 17 Maret 2021   11:57 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi. Foto: Roman Rendusara

Ibarat mempertahankan sabuk juara, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menyumbang angka "stunting" (kurang gizi kronis) tertinggi secara nasional. Pada 2017, NTT sebagai provinsi dengan prevalensi "stunting" tertinggi. Tingkat keparahannya mencapai 40,3 persen (Data: KoranSINDO, 8/2/2021). Hal ini disumbang oleh tiga Kabupaten sebagai daerah dengan prevalensi tertinggi, yakni Timor Tengah Selatan (TTS) sebesar 53,3 persen, Manggarai 50,3 persen dan Sabu Raijua 48,8 persen.

Berhadapan dengan data di atas, maka sejak dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTT pada 2018, pasangan Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dan Josef Nai Soi (JNS) langsung tancap gas. Paket Viktory-Joss engan dipermalukan di kancah nasional, oleh sebab tingkat "stunting" yang tinggi.

Dengan mengusung jargon "pembawa perubahan", VBL mendorong masyarakat untuk membudidayakan tanaman kelor. Nama Latinnya, moringa oleifera. Biasa dikenal dengan marongge. Menurutnya, kandungan gizi dalam daun kelor lebih tinggi dari susu. VBL percaya, tanaman kelor sebagai solusi, agar NTT keluar dari Propinsi dengan "stunting" tertinggi.

VBL pun menekan Gereja supaya ikut berpartisipasi dalam gerakan menanam kelor ini. Konkretnya, mewajibkan pasangan akan menikah untuk menanamnya di pekarangan, sebagai salah satu syarat menikah.

Bahkan dengan gaya khasnya, VBL memerintahkan Dinas terkait agar menanam kelor. Kepada kepala Dinas Pertanian, misalnya, VBL menegur keras, "kalau tidak bisa dipanen kelornya, maka kamu istrahat saja".

Bukan hanya berkata-kata, VBL dan JNS menanam anakan kelor di Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang pada 17 Desember 2018. VBL pun mengajak kaum ibu dan perempuan harus memakan daun kelor, agar mencegah "stunting", dan menambah asupan gizi anak, sejak dari dalam rahim.

Pemerintah awalnya berbesar hati melihat tren penurunan "stunting" secara nasional. Dari 29,6 persen (2017), 30,8 persen (2018) menjadi 27,67 persen (2019). Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Rapat Terbatas terkait Percepatan Penurunan "Stunting"  pada 5 Agustus 2020 masih menyoroti sepuluh Propinsi dengan tingkat prevalensi "stunting" tertinggi. Meskipun tren menurun, NTT tidak terpaut jauh dengan angka nasional, yakni 27,9 (2019) dan menjadi 27,5 persen (Agustus 2020). Bahkan Kabupaten Sumba Barat Daya bertengger lebih tinggi dari angka nasional, sebesar 30,1 persen.

Sampai di sini, di mana Gerakan Menanam Kelor? Sejatinya, "stunting"  bukan hanya masalah tanam dan makan kelor. Ia adalah masalah pola asuh, pola makan dan air bersih (sanitasi).

Pertama, masalah pola asuh. Orangtua memegang peran penting. Budaya patriarki turut berpengaruh. Urusan anak masih di bahu sang ibu semata. Sementara pekerjaan rumah lain banyak dirangkap sang ibu seperti berkebun, berladang, memberi makan ternak, pikul kayu api, ambil air dari kali dan memasak. Multi peran ini membuat pola asuh anak belum dijaga. Sang anak makan terlambat itu biasa. Anak makan seadanya itu lumrah terjadi, yang penting kenyang.

Kedua, masalah pola makan.  Sebagai orang tua, saya kadang kesulitan ketika merengek-rengek meminta permen ketimbang susu. Anak lebih sering makan makanan ringan dari toko daripada makan sayur. Saya bersyukur anak saya sudah semakin suka kuah marongge.

Saya amat merindukan ibu-ibu mengidam kuah marongge, di campur telur rebus, ditambah sedikit daging. Ketimbang lebih bahagia makan bakso sambil pamer di dunia maya.

Ketiga, masalah persediaan ari bersih. Ini masalah serius di NTT dan dilupakan dalam program pencegahan "stunting". Misalnya, di Kabupaten Rote Ndao, lima desa mengalami krisis air bersih pada Juli 2020. Hal ini dialami hampir setiap tahun. Di Kupang dekat kantor Gubernur, warga masih kesulitan mendapat air bersih dari PDAM. Di Sikka, warga kesulitan air bersih selama Maret-September 2020. Sementara, di Nagekeo, warga Desa Oda Ute menempuh jarak 2 kilometer untuk mengambil air dari sisa kubangan yang mulai mengering. Juga, warga Desa Rendu Wawo terpaksa mengkonsumsi air embun yang keruh.

Akhirnya, jika pemerintah serius mengatasi stunting, pertama, pendidikan pola asuh anak secara berjenjang. Mengembalikan peran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Saya merindukan peran BKKBN seperti zaman orde baru, dengan layar tancapnya, dari kampung ke kampung.

Kedua, serius mengatasi masalah krisis air di berbagai wilayah di NTT. Air itu kehidupan. Selain untuk konsumsi, air yang melimpah juga untuk menyiram tanaman sayur-sayuran. Supaya persediaan sayur setiap rumah tangga tetap terjaga. Konsumsinya meningkat.

Dengan demikian, NTT bisa keluar dari daerah prevalensi "stunting" tertinggi di Tanah Air.

=======

Tulisan ini sudah dipublikasikan di nusalontar.com, 18/2/2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun