Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kecolongan WNA Jadi Bupati Terpilih, Di Mana Gerakan Satu Data?

5 Februari 2021   08:20 Diperbarui: 5 Februari 2021   12:42 1529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Gambar Pixabay

Gerakan satu data didengungkan pada Pilpres 2019. Bak gayung bersambut, setelah dilantik sebagai Presiden periode ke 2, Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia pada 12 Juni 2019.

Kebijakan ini bertujuan supaya memberikan informasi kepada publik. Pemerintah dapat mengumpulkan data dalam satu pintu yang mutakhir, terpadu, serta mudah diakses.

Seperti, data kependudukan, keimigrasian, pangan, energi, infrastruktur, maritim, pendidikan, kesehatan, ekonomi, industri, pariwisata, hingga reformasi birokrasi. Keterpaduan data-data yang akurat dapat meminimalisir penggunaan hoaks atau berita tidak benar.

Namun, setelah hampir dua tahun, publik tersentak. Kok, bisa seorang yang masih berstatus WNA bisa leluasa mencalonkan diri menjadi kepala daerah, diverifikasi oleh lembaga berwenang, dan memenangkan pilkada? Kesan saya, ini luar biasa amburadul.

Orient Patriot Riwu Kore, bupati terpilih Kabupaten Sabu Raijua, NTT hanyalah kisah kecil betapa koruptifnya birokrasi administrasi kependudukan kita. Beruntung, Kedutaan Besar AS bersurat dan memberitahukan kita. Maka, pemerintah pura-pura terhentak. Publik pun terbelalak.

Kasus serupa pernah terjadi pada Arcandra Tahar. Setelah dilantik menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2016, baru diketahui memiliki kewarganegaraan ganda. Jabatan sementara dicabut. Pemerintah berburu menyelamatkan muka (malu).

Proses cepat peneguhan dilakukan kembali sebagai warga negara Indonesia. Arcandra dilantik lagi sebagai Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dua minggu setelahnya.

Selanjutnya, langkah apa yang dilakukan terhadap Orient Patriot Riwu Kore. Publik mudah menebak arah prosesnya berujung. PDIP sebagai partai pendukung tidak mungkin kehilangan kesempatan. Ibarat sudah sangat lapar, dan nasi sudah di piring, malah mau ditumpah oleh orang lain.

Publik sudah menduga, Bupati Sabu Raijua terpilih pasti dilantik. Hanya digeser sedikit waktunya. Menunggu polemik agak redah. Sementara KPUD-KPU Pusat pantang minta maaf. Kementerian Dalam Negeri, khususnya bidang Dukcapil lepas tangan.

Substansinya, data kependudukan kita masih babak-belur. Konektisitas data huru-hara. Administrasi Negara dalam gerakan satu data hanya eforia semata. Selesai di tanda tangan Perpres.

Akhirnya, publik menuntut, tata kelola administrasi publik yang efektif, efisien, dan tidak korup. Menguatkan gerakan satu data berbasis konektisitas terutama data kependudukan dan catatan sipil. Mempercepat pelayanan kependudukan. Tidak menunggu berbulan-bulan e-KTP baru keluar.

Sebab, sejatinya, administrasi itu dari kata Latin, 'ad' dan 'ministrare', yang berarti melayani, membantu dan memenuhi kebutuhan publik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun