Negara lahir untuk melayani rakyat, bukan merampas hak mereka. Tanah, sumber kehidupan yang mendasar, seharusnya menjadi amanah publik, bukan komoditas yang diperjualbelikan demi keuntungan segelintir elit. Namun, realitas hari ini menggambarkan paradoks: kebijakan penertiban tanah terlantar yang digadang-gadang untuk redistribusi lahan produktif justru rawan disulap menjadi alat kepentingan oligarki.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan bahwa negara berhak mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan dalam kurun waktu tertentu, baik yang bersertifikat Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), maupun hak milik. Dasar hukumnya jelas: Pasal 7 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar (CNN Indonesia, 19 Juli 2025). Namun, di balik niat baik ini, muncul pertanyaan kritis: untuk siapa tanah-tanah itu nantinya dikelola?
Fakta di lapangan mencengangkan. Data ATR/BPN 2023 mengungkap ribuan hektare tanah HGU dan HGB dikuasai korporasi besar, sementara rakyat kecil berjuang untuk sekadar memiliki sepetak lahan untuk tempat tinggal, bercocok tanam, atau usaha mikro. Di sisi lain, tanah milik negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan publik justru terbengkalai tanpa rencana pengelolaan yang jelas. Sistem kapitalisme yang kini menjadi fondasi pengelolaan tanah telah menjadikan lahan sebagai komoditas, bukan amanah. Akibatnya, keadilan dalam penguasaan tanah kian jauh dari kenyataan.Penertiban tanah terlantar seharusnya menjadi angin segar bagi rakyat. Namun, praktiknya justru rawan penyelewengan. Negara, yang mestinya berperan sebagai pelindung hak rakyat, kerap kali tampil sebagai fasilitator kepentingan pemodal.
Tanah-tanah yang ditarik karena terlantar berisiko jatuh ke tangan korporasi besar yang memiliki akses luas terhadap regulasi dan kekuasaan. Rakyat kecil, yang sudah kesulitan mendapatkan lahan untuk kebutuhan dasar, kembali menjadi korban. Tanah yang seharusnya menjamin kehidupan---tempat tinggal, pangan, dan ruang hidup layak---justru hanya bernilai jika menguntungkan secara finansial. Ketiadaan rencana pengelolaan yang jelas memperparah situasi. Tanah milik negara, seperti hutan, padang rumput, atau lahan terlantar lainnya, dibiarkan menganggur tanpa kejelasan tujuan. Ini bukan hanya pemborosan sumber daya, tetapi juga membuka celah penyalahgunaan. Ketika negara gagal mengelola asetnya dengan baik, yang diuntungkan bukan rakyat, melainkan segelintir pihak yang lihai memanfaatkan kelengahan sistem.Lalu, bagaimana seharusnya tanah dikelola?
Dalam sistem Islam tanah dipandang sebagai titipan Allah/amanah sang _khaliq_ bukan sekadar komoditas ekonomi. Pengelolaan tanah dibagi menjadi tiga kategori: individu, umum, dan negara, masing-masing dengan aturan syariat yang jelas untuk menjamin kemaslahatan umat. Tanah umum, seperti hutan, sungai, atau tambang besar, adalah milik bersama yang harus dapat diakses seluruh rakyat tanpa monopoli pihak tertentu. Negara wajib mengatur agar tidak ada yang menghalangi akses tersebut. Sementara itu, tanah negara seperti padang pasir, gunung, atau lahan mati dapat dihidupkan melalui mekanisme _ihya al-mawat_ (menghidupkan tanah mati). Rasulullah SAW bersabda, "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu miliknya" (HR. Al-Bukhari). Dalam sistem ini, negara bukan fasilitator kepentingan pemodal, melainkan pengatur dan pelayan umat. Kholifah memiliki wewenang untuk memberikan izin pengelolaan tanah mati, ini didasari setelah hasi ijtihad oleh Kholifah. Numun hal ini tetap berlandaskan keadilan dan kemaslahatan. Distribusi tanah tidak boleh melahirkan ketimpangan, apalagi kezaliman. Tanah harus kembali pada fungsi asalnya yakni sebagai sumber kehidupan yang menjamin kesejahteraan rakyat, bukan alat untuk memperkaya segelintir elit.Kini, pertanyaan mendasar menggema, Â akankah kebijakan penertiban tanah terlantar benar-benar mengembalikan hak rakyat, atau justru memperluas cengkeraman oligarki?
Demikianlah sangat jelas tatkala aturan yang lahir bukan dari sosok yang maha benar, maka kebenaran dan hak tidak akan pernah tercapai. Keniscayaan yang terjadi tatkala Islam takdijadikan sebagai pengaturan kehidupan, yang sudah aman jelas segala pengaturan kehidupan diatur dalam Islam sedemikian. Maka kesadaran umat untuk kembali kepada sistem Islam, sebagai solusi atas problematika hari ini adalah kebenaran yang tidak bisa dielakkan.
_Wallahua'lam bissawab_
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI