Kalau ada proyek digital yang bikin Amerika protes dan Donald Trump ketar-ketir, itu pasti QRIS.
QRIS: Senjata Rahasia Digital Indonesia yang Menggegerkan Dunia
Dalam hiruk-pikuk perkembangan teknologi finansial dunia, Indonesia diam-diam meluncurkan proyek digitalisasi pembayaran yang membuat banyak negara, bahkan Amerika Serikat, merasa tidak nyaman. Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS adalah sistem pembayaran berbasis QR code yang diluncurkan oleh Bank Indonesia sejak 2019 dan mulai diimplementasikan pada 1 Januari 2020. Keberhasilan QRIS bukanlah hal biasa. Ia bukan sekadar kode yang ditempel di warung atau toko, melainkan simbol kedaulatan finansial nasional di tengah dominasi korporasi global seperti Visa dan Mastercard.
Ancaman Serius bagi Visa-Mastercard: Indonesia Tak Lagi Main di Kelas Kecil
Amerika Serikat, melalui United States Trade Representative (USTR), secara resmi menyampaikan keberatannya terhadap keberadaan QRIS dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) karena dianggap menekan peluang perusahaan asing seperti Visa dan Mastercard di Indonesia. Bukan tanpa alasan, sejak QRIS diperkenalkan, dominasi kedua perusahaan tersebut di pasar Indonesia terus menurun. Data menunjukkan bahwa sejak diluncurkan, QRIS mencatat lonjakan drastis: dari 124 juta transaksi pada tahun pertama menjadi lebih dari 6,24 miliar transaksi pada 2024, dengan nilai mencapai Rp659 triliun. Sebanyak 55 juta pengguna aktif dan 36 juta merchant terhubung ke sistem ini. Capaian tersebut menjadikan QRIS salah satu inisiatif digital paling masif di Asia Tenggara, bahkan melebihi adopsi sistem serupa di India dan negara-negara maju lainnya.
Keberhasilan QRIS ini tidak hanya terlihat dari angka-angka transaksi, tetapi juga dari manfaatnya yang inklusif. UMKM yang sebelumnya tidak terlayani layanan keuangan digital kini dapat menerima pembayaran secara efisien dan gratis, khususnya untuk transaksi kecil di bawah Rp500.000. Lebih dari itu, QRIS mendorong konektivitas antar aplikasi dalam negeri, dari Gopay, OVO, ShopeePay, hingga mobile banking bank-bank nasional, dalam satu sistem terstandar yang mudah digunakan. Hal inilah yang membuat perusahaan asing merasa tersaingi, terutama karena sistem pembayaran berbasis QR belum menjadi norma di Eropa maupun Amerika.
Jaga QRIS dari Politisasi: Ini Aset Nasional Bukan Komoditas Diplomasi
Proyek QRIS memang bukan tanpa risiko. Keberhasilannya tentu menggoda pihak-pihak tertentu untuk menjadikannya komoditas politik atau alat negosiasi dalam diplomasi internasional. Namun, penting bagi masyarakat Indonesia untuk menjaga kemurnian dan arah proyek ini: sebagai infrastruktur publik yang memperkuat kedaulatan finansial dan memperluas inklusi ekonomi.
Bank Indonesia, bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dan para pelaku industri, telah membuktikan bahwa proyek negara bisa berhasil asal dijalankan secara teknokratik dan bebas dari kepentingan sempit. QRIS adalah bukti bahwa Indonesia tidak harus menunggu revolusi dari luar untuk berdaulat secara ekonomi. Justru, dengan standar lokal yang berorientasi global, kita bisa membuat dunia menoleh, dan Donald Trump pun sampai ketar-ketir.
QRIS bukan hanya tentang memindai untuk membayar. Ia adalah simbol kemandirian dan keberhasilan strategi digital nasional. Ke depan, semangat kolaboratif dan keberanian mengambil langkah tegas harus terus dijaga agar QRIS tidak hanya menjadi proyek masa kini, tetapi tonggak sejarah Indonesia sebagai pelopor sistem pembayaran digital yang mandiri, inklusif, dan membanggakan.
Bagikan pendapatmu tentang QRIS: Apakah ini langkah berani menuju kedaulatan finansial? Tulis pengalaman, opini, atau pertanyaanmu di kolom komentar sekarang!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI