"Tak doa-kan (saya doakan) jagomu (Jokowi) kalah, maka Tahajud"
Tut-tut... tut-tut. SMS dari seorang kawan masuk dan terbacalah pesan singkat itu, tepat pukul 03.23 pagi tadi. Saya pun baru membacanya tadi pukul (....), maaf sensor karena telat bangun, semalam sibuk ngurusin "dunia".
Kontan setelah membaca SMS dari seorang kawan bernama Kanjeng Manahan (rumah di blkg Std. Manahan Solo) itu pun, saya menjadi bertanya-tanya ada apa gerangan.
Memang dari saya dan teman-teman komunitas "Politik Rakyat" di Solo, tidak semua mendukung pencalonan Jokowi menjadi DKI 1. Tapi apakah harus dibawa-bawa sampai ke ranah "doa". Sementara saya yang selama ini "getol" menulis di Kompasiana pun hanya sebatas menulis dan setelah itu selesai, tidak ada "doa khusus", "fanatisme" ataupun berharap adanya "kompensasi".
"Saya pernah mendukung Bapak di Pilkada Solo yang pertama (sekitar th. 2005)"
Ungkapan itu saya sampaikan beberapa waktu lalu di hadapan orang yang pada saat itu (2005) saya dukung tapi sama sekali belum pernah terlibat pembicaraan langsung. Puas berdiskusi banyak hal tentang isu lokal dan setelah itu pulang, cabut keluar dari Loji Gandrung dengan motor masing-masing.
Jokowi bagi saya adalah tokoh yang merakyat, itu saja. Semacam ada "chemistry" dan seakan-akan pengen jagoin, selesai. Ya memang sesimpel dan sesederhana itu pikiran saya tentang politik dan perhelatan Pilkada. "Menang sokor, ra menang sokor" (Menang bersyukur, begitu pula sebaliknya, asal jangan disukur-sukurin, sukurin lo!). Sama halnya dengan pertandingan bola, hanya saja semalam yang saya jagoin lagi beruntung (menang). Bravo Italia.
Pandangan sederhana saya ini memang berbeda dengan beberapa Kompasianer yang dengan "serius"-nya mengulas tentang Politik dan Pilkada. Maklum, mereka adalah Para Politisi dan Profesional di bidangnya. Sementara saya hanyalah seorang guru dan manusia pembelajar.
Jangankan Kompasianer, kawan-kawan komunitas diskusi darat yang kita rutin bertemu di Solo pun banyak yang kemudian secara "serius" dan frontal menolak pencalonan Jokowi, dibilangnya pengkhianat lah. dsb. Tapi banyak dan tidak sedikit pula yang "merelakan" Jokowi untuk kebaikan Jakarta, ibu kota tercinta Indonesia.
Teringat SBY, Sebuah "Main-main"
Berbicara tentang Pilkada dan tingkat keseriusan saya dalam membahasnya, jadi teringat dengan pengalaman Pemilihan Presiden (Pilpres) sekitar tahun 2004, saat awal-awal SBY mencalonkan diri sebagai presiden. Kok semuanya serba pengalaman pencalonan kali pertama ya. Bedanya, dukungan pribadi pada Jokowi terus berlanjut (meski pada pilihan kedua absen merantau), adapun pada SBY dukungan menjadi "biasa-biasa" untuk tidak bisa dibilang "tidak mendukung sama sekali".
Saat itu, sama dengan tajuk kali ini (bab Doa), maka saya beserta beberapa teman turut nderekke (mendampingi) Pak Beye dalam perjalanannya "sowan" (berkunjung) dan meminta restu serta Doa dari seorang Kyai Pacitan. Padahal perjalanan Solo-Pacitan lumayan jauh, ada sekitar 2-3 jam melewati Sukoharjo dan Wonogiri. Yah, itung-itung plesir ke daerah yang sedikit pelosok, bukan di Pacitan kota.