Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri
Rokhmin Dahuri Mohon Tunggu... -

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI)\r\nMenteri Kelautan dan Perikanan tahun 2001-2004\r\nGuru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Meningkatkan Kerja Sama Kelautan Indonesia dan Malaysia

16 Mei 2016   09:02 Diperbarui: 16 Mei 2016   11:31 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: nasionalisme.co

Indonesia dan Malaysia, kita kerap menyebutnya sebagai negara serumpun. Hubungan yang naik dan turun, kerap kita lalui dengan berbagai peristiwa yang memicunya. Tapi layaknya saudara, kita selalu bisa mengatasi dan akhirnya kembali rukun.

Dua negara ini adalah negara besar di ranah Benua Asia, dan sepatutnya bergandeng tangan, bahu membahu dan saling jaga. Sebelum 1980-an, Malaysia banyak belajar dari Indonesia. Kini, mungkin tiba masanya kita belajar pada Malaysia. Hubungan saling belajar, saling memperkuat, dan saling menghormati seyogyanya mendasari pola hubungan Indonesia dan Malaysia.

Pada 23–25 Februari tahun ini, penulis diundang ceramah oleh 4 lembaga ternama di Kuala Lumpur. Ceramah dan diskusi pertama adalah tentang “Indonesian Maritime Axis Policy: Achievements and Challenges” (Kebijakan Indonesia tentang Poros Maritim Dunia: Pencapaian dan Tantangan) di Institute of Strategic and International Studies. Sebuah lembaga think tank tersohor di negeri jiran tersebut untuk berdiskusi hal-hal strategis di antara dua negara. Mulai dari pokok-pokok kebijakan pemerintah Indonesia untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, potensi ekonomi kelautan, sampai dengan percik konflik Laut China Selatan. Kami berdiskusi luas dan mendalam, menggali dan menemukan titik-titik strategis yang bisa dikembangkan bersama oleh kedua bangsa. Bukan hanya untuk kepentingan Indonesia dan Malaysia, tetapi juga untuk negara-negara di sekitar Laut China Selatan, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Ceramah kedua di Malaysian Armed Force Defence College, semacam Universitas Pertahanan yang kita miliki di Indonesia, tetapi khusus untuk jenjang S2 dan kursus-kursus yang diikuti oleh peserta militer atau polisi berpangkat perwira menengah, baik dari Malaysia sendiri maupun dari mancanegara. Topiknya tentang “Enhacing Maritime Cooperation Among East Asian Nations for Regional Peace, Prosperity, and Sustainability” (Mengembangkan Kerja S ama Maritim di Antara Bangsa-bangsa Asia Timur untuk Perdamaian, Kesejahteraan, dan Keberlanjutan Regional). Kami dengan para para kolonel dan letkol yang datang dari berbagai negara ini berdiskusi juga secara mendalam tentang isu-isu strategis yang terkait dengan landskap geopolitik global dan regional, hankam dan ekonomi maritim. Beberapa tahun lagi, para perwira ini bakal menempati posisi-posisi penting di negara masing-masing. Dan, investasi Malaysia di bidang human capital ini diharapkan dapat membangun visi yang sama dan saling pengertian di antara bangsa-bangsa di dunia, khususnya bidang politik dan hankam di kawasan Asia-Pasifik.

Ceramah ketiga tentang “Strengthening Indonesia and Malaysia Cooperation in Maritime Education and Technology” (Memperkokoh Kerja Sama Indonesia dan Malaysia di Bidang Pendidikan dan Tekonologi Kemaritiman) saya sampaikan di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) yang dihadiri oleh sekitar 300 mahasiswa S2 dan S3 serta para dosen dan pimpinan universitas. Yang menarik, dari diskusi yang berkembang, bahwa mereka berpendapat dalam hal pendidikan dan IPTEK kelautan, Indonesia lebih maju ketimbang Malaysia.

Di bawah kepemimpinan PM Najib, Malaysia sangat serius merancang dan menetapkan kebijakan-kebijakan strategisnya, terutama di bidang kelautan. Meski semua diskusi di berbagai instansi tersebut sangat menarik, perhatian penulis tersita ketika berkunjung dan berdiskusi dengan para pemimpin negara yang bertugas di bawah Lembaga Kemajuan Ikan Malaysia (LKIM), setingkat Direktorat Jenderal Perikanan, KKP Indonesia.

Lembaga ini, meski tidak setingkat kementerian seperti di Indonesia, tapi punya tugas yang sangat fokus, yakni mengembangkan sektor perikanan tangkap dan meningkatkan taraf hidup nelayan Malaysia. Saat pertama kali tiba, kami disambut dengan berbagai hidangan laut yang telah disiapkan. Pimpinan LKIM menjelaskan satu persatu produk yang dihidangkan. Mulai dari makanan ringan hasil olahan laut, nasi ikan dalam kemasan, mi instan dari rumput laut, gamat (ekstrak teripang) yang dijadikan obat. Semua dikemas rapi dengan kualitas ekspor ke luar negeri.

Para petugas menjelaskan proses pendampingan dan pelatihan yang dilakukan oleh LKIM bagi para nelayan dan pengusaha produk olahan laut. Tak hanya mendampingi, tapi juga membangun dan menyiapkan pasarnya. Semua terasa begitu serius dipersiapkan.

Pelayanan terhadap nelayan, juga terasa extraordinary. Mulai dari penyediaan sarana produksi dan perbekalan melaut, modal usaha, tindakan keamanan di laut, sampai asuransi bagi nelayan yang mengalami kemalangan. LKIM bahkan punya sebuah video yang diputar luas di semua kawasan pemukiman nelayan tentang pentingnya menggunakan pelampung dan sarana keamanan laut lainnya di saat melaut dan mencari ikan. “Anak dan istri, di rumah menanti,” demikian pesan di akhir video kampanye keselamatan untuk nelayan.

Barangkali hal-hal di atas terasa kecil dan ringan, tapi sepertinya dilakukan dengan serius, sabar dan sangat dekat dengan nelayan. Nelayan merasakan betul kehadiran negara. Memang, tak adil jika membandingkan jumlah nelayan Indonesia dan Malaysia yang harus diurus oleh negara. Total nelayan Malaysia hanya sekitar 200.00 orang, sedangkan nelayan Indonesia mencapai 2,7 juta orang. Tapi kita bisa belajar apa yang baik sebagai inspirasi.

Setiap bulan, nelayan Malaysia mendapatkan tunjangan sekitar 300 RM sebagai cost of allowence yang ditanggung oleh negara. BBM khusus untuk nelayan pun, mendapatkan subsidi dari pemerintah. Di bawah administrasi PM. Najib Tun Razak, Malaysia menetapkan penghasilan minimal nelayan sekurang-kurangnya 2.000 RM/orang/bulan (Rp 6 juta/orang/bulan). Bandingkan dengan rata-rata pendapatan nelayan Indonesia yang hanya Rp 1,5 juta/orang/bulan. Bahkan secara berkala, LKIM diberi tugas untuk mencetak sekurang-kurangnya lima puluh nelayan dalam setahun yang naik taraf menjadi usahawan di bidang kelautan dan perikanan. Ini belum lagi hal-hal seperti perbaikan kapal hingga santunan kematian bagi nelayan yang mengalami kecelakaan di laut, negara memberikan santunan hingga 2000 RM (Ringgit Malaysia).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun