Mohon tunggu...
Masrokhin
Masrokhin Mohon Tunggu... Dosen - Traveler yang meminati mazhab Geertzian

Memenuhi perintah belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibadah di Laboratorium

25 Maret 2024   10:16 Diperbarui: 25 Maret 2024   10:48 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

WOT ATAWA JEMBATAN

Siang-siang panas-panas gini nyetel radio pas menyiarkan rekaman pengajian umum. Bahasannya Jawa Kidul-Tengah-Wetan. Penceramahnya bersuara datar. Intonansi dan iramanya datar. Selain tidak menggebu-gebu, juga tidak (me)lucu. Datar tar. Tapi tidak membosankan, karena sempat mendengarkan hanya di lima belasan menit terakhir, lalu selesai

Membicarakan tentang shirotol mustaqim, jalan yang lurus. Di majlis lain, shirotol mustaqim disematkan padanya sebagai jembatan, jembatan shirotol mustaqim. Atau di jawa bagian sana disebut dengan wot shirotol mustaqim. Sama saja, wot atau jembatan

Pada kesemua sebutannya, penjelasannya adalah jembatan itu ditapaki, ditempuh, nanti di akhirat. Titiannya kecilllll banget (katanya begitu. Padahal shirot itu bermakna jalan yang luasss banget. Siroth, 'al wazni fi'aal, bi ma'na maf'ul. Mungkin karena segmen audiensnya beda) dan melintang melewati neraka menuju sorga. Yang kepleset saat melewati jembatan, ya nyemplung ke neraka. Yang bisa sampai ke ujung sana, ya nyampe ke sorga. Ada yang melintas dengan kecepatan rendah sekali, ada yang dengan kecepatan sangat tinggi. Berapapun speed yang digunakan, atau apapun yang diceritakan tentangnya, shirotol mustaqim adalah "barang akhirat, ketemunya nanti di akhirat, menempuhnya kelak di akhirat, hati-hatinya saat menempuhnya itu besok di akhirat". Kira-kira begitu

Penceramah tadi menjelaskannya tidak begitu. Aku ada temannya

Shirotol mustaqim itu bukan barang akhirat. Shirotol mustaqim itu ada di dunia kita ini, saat hidup kita sekarang ini. Menempuhnya juga sekarang ini, saat masih hidup di dunia ini. Bukan melintasinya saat nanti di akhirat. Di akhirat, tidak ada jembatan mustaqim lagi. yang ada hanya rambu, sign penunjuk jalan: sana ke neraka, sana ke sorga, sudah. Maka, menempuh shirotol mustaqim itu, ya sekarang ini. Yang ditempuh sekarang di dunia, kalau shirotnya mengarah ke sorga ya kelak ketemu rambu yang penunjuk arahnya sorga. Begitu pun yang shirotnya tidak mustaqim. Ketemu rambu juga, yang ke arah neraka

Maka, dunia lebih penting dari akhirat. Karena, kelak kalau sudah akhirat, tidak bisa lagi ada usaha, nggak bisa apa-apa lagi, tinggal menuai hasil, memanen tanaman dari dunia

Maka, dunia lebih penting dari akhirat. Baguskan duniamu, di akhirat kelak wajar bisa berharap memanen kebagusan yang ditanam di dunia

Maka, sangat bersayap omongan para penyampai berita tentang "Prioritaskan amalmu untuk akhiratmu. Kalau hanya amal dunia, rugi, di akhirat nggak akan dapat apa-apa......." dan seterusnya dengan tekanan bahwa yang i'tikaf lama di masjid itu lebih baik dari yang lama di laboratorium, yang belajar bahasa Arab itu lebih baik daripada belajar bahasa coding, yang bawa buku dengan tulisan yang membacanya ke arah kiri itu lebih bagus dari yang berhari-hari mencerna pembakaran dari karburator ke injeksi. Dikotomis, memisahkan, dan harus dipisahkan, bahwa ini menuju akhirat dan yang itu hanya duniawi belaka, agar bisa merasa ini lebih bagus

Begini, misalnya. pada rangkaian menuju melaksanakan ibadah haji, yang dibicarakan selalu tentang haji yang mabrur, lebih banyaknya pahala saat bisa ibadah di Makkah Madinah, ketenangan bathin saat melihat Ka'bah, kalau sudah di sana rasanya nggak pingin pulang ke rumah lagi, dannn seterusnya. Hey, trigonometri itu menyumbang perancangan aerodinamisnya pesawat terbang. Berminggu-minggu nggak keluar dari laboratorium itu gara-gara formula vaksin meningitis nggak ketemu-ketemu. Perpindahan warga negara sini bisa kesana dengan segala perizinannya itu sumbangan kuliah di Hubungan Internasional. Menerbangkan pesawat super jumbo itu sekolahnya bukan dengan menghafal qola asluhu koala. eh

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun