Mohon tunggu...
Rohmat Sulistya
Rohmat Sulistya Mohon Tunggu... menulis, karena ingin.

Kesuksesan terbesar adalah mendapat hidayah.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Merasa Cukup, sebuah poin dari buku The Psychology of Money

30 Juli 2025   08:57 Diperbarui: 30 Juli 2025   11:14 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Ada orang yang korupsi sampai ratusan milyar atau triliunan. Ini tidak masuk akal sebenarnya. Karena sejatinya mereka yang korupsi tidak membutuhkan itu. 

Ketika berbicara tentang kesuksesan finansial, banyak orang langsung memikirkan berapa banyak uang yang harus dihasilkan. Kita sering mengukur keberhasilan dengan angka di rekening atau aset yang dimiliki. Apalagi ditambah dengan fenomena pamer atau flexing yang sebenarnya kampungan. Kebetulan saya membeli sebuah buku, yang baru sempat saya baca. Ternyata cara bertutur dan poin-poin penting yang ada di buku tersebut sangat menarik. 

Buku The Psychology of Money karya Morgan Housel memberikan perspektif yang berbeda. Kesuksesan finansial ternyata tidak hanya bergantung pada jumlah uang yang kita peroleh, melainkan pada bagaimana sikap kita terhadap uang tersebut. Ada banyak kisah tentang orang yang memiliki penghasilan besar tetapi tidak pernah merasa cukup, hidup dalam tekanan, bahkan akhirnya kehilangan apa yang mereka miliki karena tidak mampu mengelolanya dengan bijak. Sebaliknya, ada pula mereka yang berpenghasilan sederhana tetapi bisa hidup tenang, aman, dan bahkan menabung untuk masa depan. Perbedaannya bukan pada jumlah yang mereka hasilkan, tetapi pada bagaimana mereka bersikap terhadap uang.

Salah satu pelajaran yang paling kuat dari buku ini adalah tentang pentingnya memiliki rasa cukup. Kita hidup di era di mana perbandingan sosial sangat mudah terjadi. Media sosial membuat kita terus-menerus melihat pencapaian orang lain, dan tanpa sadar kita merasa tertinggal. Akibatnya, banyak orang terdorong untuk mengejar lebih banyak, membeli lebih banyak, dan bekerja tanpa henti. Mereka berlari seperti di atas treadmill: bergerak terus, tetapi tidak pernah sampai ke tujuan. Padahal, tanpa rasa cukup, berapa pun jumlah uang yang kita miliki tidak akan pernah membuat kita puas. Kita akan selalu merasa kekurangan, dan perasaan itu yang sering kali membuat orang mengambil keputusan-keputusan finansial yang tidak rasional.

Rasa cukup bukan berarti berhenti berusaha atau tidak memiliki ambisi. Justru sebaliknya, rasa cukup membuat kita mampu bekerja dengan lebih tenang, mengambil keputusan keuangan dengan kepala dingin, dan menghindari risiko yang tidak perlu. Rasa cukup menuntun kita untuk melihat uang sebagai alat, bukan sebagai tujuan hidup. Kita bekerja bukan karena ingin membuktikan sesuatu kepada orang lain, melainkan karena ingin memenuhi kebutuhan yang wajar dan meraih hidup yang stabil.

Dalam agama Islam yang saya anut, konsep rasa cukup ini dikenal dengan istilah qanaah. Qanaah bukanlah sikap pasrah yang membuat seseorang malas berusaha, melainkan penerimaan yang tulus terhadap rezeki yang diberikan Allah, disertai rasa syukur yang mendalam. Rasulullah bersabda bahwa kekayaan sejati bukanlah banyaknya harta, tetapi kekayaan jiwa. Artinya, kebahagiaan tidak ditentukan oleh angka di rekening bank, tetapi oleh hati yang merasa cukup. Ketika seseorang memiliki qanaah, ia tidak mudah iri terhadap rezeki orang lain dan tidak terjebak dalam perlombaan tanpa ujung untuk selalu membandingkan diri. Ketika ia iri, maka sejatinya ia menentang ketetapan Tuhan. 

Sikap qanaah ini sangat relevan jika dihubungkan dengan literasi pengelolaan uang. Literasi keuangan bukan hanya tentang kemampuan mencatat pemasukan dan pengeluaran atau memahami investasi. Literasi keuangan yang sesungguhnya adalah tentang kemampuan mengendalikan perilaku terhadap uang. Seseorang yang tidak memiliki rasa cukup akan mudah terjebak dalam utang konsumtif, membeli barang-barang yang tidak perlu hanya demi gengsi, atau mengambil risiko finansial yang terlalu besar demi iming-iming cepat kaya. Sebaliknya, mereka yang memahami makna qanaah akan lebih fokus pada kebutuhan, hidup sederhana sesuai kemampuan, dan mengelola uang dengan penuh kesadaran. Judol dan pinjol adalah kakak beradik sistem yang menggambarkan betapa seseorang berada dalam harapan yang fana terhadap harta.

Seseorang yang memilih menunda membeli barang mahal hanya karena sedang tren, lalu mengalokasikan uangnya untuk menabung atau berinvestasi dengan cara yang aman dan halal. Ia tahu bahwa rasa aman lebih penting daripada kesenangan sesaat. Ia juga tidak segan berbagi rezeki melalui donasi, sedekah atau zakat, karena meyakini bahwa berbagi tidak akan mengurangi harta, tetapi justru membersihkannya. Di sinilah titik temu antara ilmu pengelolaan uang dan ajaran agama: keduanya menekankan pentingnya pengendalian diri dan rasa syukur dalam setiap keputusan finansial yang kita ambil.

Buku The Psychology of Money juga menekankan bahwa banyak orang gagal secara finansial bukan karena kurang pintar atau kurang berpendidikan, tetapi karena tidak mampu mengendalikan sikap mereka terhadap uang. Dicontohkan dalam buku tersebut para pekerja keuangan, pialang saham pada masa lalu akhirnya bangkrut bahkan bunuh diri, karena sikap diri yang ingin lebih dan lebih tanpa menentukan titik cukup. Pengetahuan teknis keuangan bisa dipelajari oleh siapa saja, tetapi tanpa disiplin, kesabaran, dan rasa cukup, semua itu tidak akan berguna. Inilah mengapa kita sering melihat orang yang berpenghasilan tinggi tetapi tetap hidup dari gaji ke gaji, sementara ada yang berpenghasilan pas-pasan justru mampu menabung dan hidup lebih damai. Perbedaannya terletak pada bagaimana mereka menata pola pikir dan perilaku finansial mereka.

Ketika konsep ini dipadukan dengan nilai qanaah dalam Islam, kita menemukan panduan hidup yang sangat kuat. Qanaah mengajarkan bahwa berapa pun rezeki yang kita dapatkan harus disyukuri. Syukur ini tidak hanya diucapkan, tetapi diwujudkan dengan cara memanfaatkan uang sesuai ketentuan syariat, menjauhi pemborosan, dan menghindari keserakahan. Sikap ini melindungi kita dari kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain dan memberi kita ruang untuk menikmati hidup dengan tenang.

Ketenangan dalam mengelola uang sebenarnya tidak datang dari berapa besar pendapatan yang kita hasilkan, melainkan dari cara kita menempatkan uang dalam hidup. Uang hanyalah sarana, bukan pusat kebahagiaan. Jika kita selalu merasa kurang, maka tidak ada jumlah uang yang cukup untuk memuaskan kita. Sebaliknya, jika kita memiliki rasa cukup dan mempraktikkan qanaah, maka penghasilan yang sederhana pun bisa membawa kebahagiaan yang nyata. Dengan cara ini, kita bukan hanya terhindar dari tekanan finansial, tetapi juga mendapatkan ketenangan jiwa yang sulit dibeli dengan angka berapa pun.

Karena itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa literasi pengelolaan uang tidak hanya soal hitungan matematis, tetapi juga soal sikap. Dengan belajar dari The Psychology of Money tentang rasa cukup, kita bisa mengubah cara kita memandang uang. Kita belajar untuk tidak sekadar mengejar lebih banyak, tetapi juga untuk menghargai apa yang sudah ada. Kita belajar untuk bekerja dengan semangat, tetapi tidak diperbudak ambisi. Kita belajar bahwa dalam urusan uang, rasa cukup bukan hanya pilihan bijak, tetapi kunci kebahagiaan yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun