Mohon tunggu...
Mohamad Rohli
Mohamad Rohli Mohon Tunggu...

Sarjana Hukum yang suka manajemen

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pro-Kontra Pemberian Hak Pilih kepada TNI dalam Pemilihan Umum

16 Mei 2012   04:01 Diperbarui: 4 April 2017   16:41 13100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

BAB I

PENDAHULUAN

I.1Latar Belakang Masalah

Pro-kontra mengenai pengembalian hak memilih anggota TNI kembali mengemuka setiap kali terdapat revisi dari UU Pemilu. Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum sebegai revisi dari UU sebelumnya yang mengatur mengenai Pemilihan Umum telah resmi disahkan pada 16 oktober 2011. Undang-Undang ini nantinya akan menjadi panduan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia, khususnya Pemilihan Umum tahun 2014 kelak. Seperti Undang-Undang sebelumnya yang mengatur mengenai Pemilu, hak memilih dan dipilih anggota TNI sama sekali tidak dimasukan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 ini, padahal wacana pemberian hak pilih bagi anggota TNI dan Polri sempat mencuat dalam pembahasan RUU Pemilu ini. Di dalam rapat-rapat DPR mengenai pembahasan revisi UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD, wacana mengenai hak memilih bagi TNI dalam pemilu sering diutarakan. Bahkan, ada beberapa fraksi yang mendukung kembalinya TNI ke gelanggang politik. Dukungan untuk TNI dan Polri untuk dapat menggunakan hak pilihnya di dukung oleh beberpa kalangan seperti Politisi PKB Abdul Malik Haramain, serta Partai Gerindra. Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon seusai diskusi di DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (25/11/2011) menyatakan setuju jika anggota TNI dan Polri diberikan hak pilih pada Pemilu 2014. "Kami setuju saja. Tidak ada keberatan sedikitpun". [1]

Namun pada akhirnya, Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu DPR tidak melanjutkan pembahasan mengenai dikembalikannya hak pilih bagi TNI/Polri pada Pemilu 2014. Anggota Pansus RUU Pemilu DPR dari Partai Golkar Nurul Arifin mengatakan, sikap ini diambil sebagai tindak lanjut dari pernyataan TNI yang mengaku belum siap mempergunakan hak tersebut dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) beberapa waktu lalu. Pansus telah mengundang TNI untuk mendengarkan pandangan mereka. Namun, dengan iklim demokrasi sekarang, TNI menolak mempergunakan hak pilih. Alasan ketidaksiapan TNI menggunakan hak pilihnya karena mereka khawatir akan terjadi perpecahan internal dan muncul kubu-kubu. TNI juga khawatir masyarakat belum bisa menerima keterlibatan mereka secara aktif dalam pemilu. keterlibatan TNI dalam ajang demokrasi lima tahunan ini hanya sebatas pengamanan dan diperbantukan dalam operasional.[2] Direktur Program The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf, mengatakan, pemberian hak pilih bagi TNI dan Polri tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa. Perlu kajian yang mendalam dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Salah satu faktor tersebut adalah revisi UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer. Pemulihan hak pilih bagi TNI baru dapat dilakukan setelah merevisi UU Peradilan militer tersebut. Hal ini untuk memberikan jaminan peradilan yang independen bila terjadi penyimpangan oleh anggota TNI.[3]

Pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa tentara profesional adalah tentara yang tidak berpolitik praktis. Hal ini dipertegas dalam Pasal 39 UU yang sama yang menyebutkan : Prajurit dilarang terlibat dalam: kegiatan menjadi anggota parpol, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya. Dari sini terlihat bahwa ada ketakutan, jika TNI berpolitik akan menggunakan otoritas kekuatan untuk mengarahkan pada kepentingan partai politik. Ketakutan itu beralasan, karena pengalaman orde baru membuat trauma politik (ketakutan politik) itu mengkristal di masyarakat Indonesia.

Dengan berbagai pro-kontra mengenai pemberian hak pilih kepada TNI tersebut kerap timbul pertanyaan mendasar: apakah TNI memiliki hak pilih sebagaimana warga negara lainnya? Mengapa TNI tidak diperbolehkan memilih? bukankah hak memilih telah diakui oleh Pasal 28 UUD 1945? Pertanyaan ini kerap hadir setiap kali ada wacana menganai pengembalian hak pilih TNI.

Pro kontra mengenai pemberian hak memilih bagi TNI inilah yang kemudian menjadi latar belakang penulis dalam menyusun makalah ini.

I.2. Pokok Permasalahan

Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :


  1. Bagaimanakah pendapat/isu yang berkembang mengenai pemberian hak memilih kepada TNI?

2.Bagaimanakah tinjauan hukum mengenai hak anggota TNI untuk memilih dalam Pemilu?

3.Bagaimana penyikapan terhadap masalah pemberian hak pilih kepada TNI?

I.3. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam makalah ini terdiri dari 3 (tiga) bab, dimana uraian bab-bab tersebut adalah sebagai berikut :

Bab I menjelaskan mengenai pendahuluan yang berisikan 3 sub bab, yaitu latar belakang, pokok permasalahan, dan sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan mengenai berbagai pendapat yang berkembang serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak memilih TNI.Dari bab ini dapat dilihat adanya perbedaan pendapat mengenai pemberian hak memilih TNI.

Bab III merupakan kesimpulan dan saran yang diberikan oleh penulis berdasarkan isi dan analisis dari penulisan makalah ini.

BAB II

ISI

II. 1 Sejarah Fungsi TNI

TNI merupakan nama resmi militer Indonesia saat ini. Sejak tahun 1964 sampai tahun 1999 nama resmi militer Indonesia adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang di dalamnya termasuk Angkatan Kepolisian. Perubahan kembali menjadi TNI adalah sebagai bagian dari Paradigma Baru Peran TNI dan pemisahan Kepolisian Republik Indonesia[4]. Perubahan militer di Indonesia juga mencakup perubahan kedudukan dan fungsi dalam struktur ketatanegaraan, dimana sebelum adanya ketentuan dalam UUD 1945 yang menegaskan bahwa TNI menjalankan fungsi pertahanan, militer Indonesia (ABRI) juga memiliki fungsi sosial dan politik[5]

Untuk memahami perdebatan yang terjadi mengenai hak TNI untuk turut serta dalam pemerintahan, maka penulis melakukan peninjauan sejarah mengenai fungsi TNI sejak masa awal kemerdekaan sampai dengan masa reformasi.

1. Periode 1945 – 1949

TNI pada periode ini dikenal dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Adapun fungsi BKR pada waktu itu adalah memelihara keamanan bersama-sama dengan rakyat dan badan-badan negara yang bersangkutan.BKR mengalami beberapa kali pergantian nama, sampai pada tanggal 5 Mei 1947 Presiden Soekarno menyebut istilah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan fungsinya yaitu sebagai pelindung ideologi negara dan bukan alat dari berbagai kabinet yang sedang berkuasa. Fungsi TNI masih dalam batasan fungsi pertahanan, namun dalam prakteknya terjadi pola pembagian peran yang sangat nyata antara anggota TNI dan sipil.[6]

2. Periode 1949 – 1959

Fungsi yang diemban TNI pada masa itu adalah fungsi pertahanan dan sedikit fungsi legislasi. Fungsi pertahanan didasarkan pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 yang berbunyi: “Angkatan Perang adalah pelopor pertahanan negara dan pelatih keprajuritan bagi rakyat.” Namun demikian, pemerintah yang mempunyai wewenang untuk mengatur perihal pertahanan tersebut. hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 yang berbunyi: “Pemerintah menetapkan kebijakan umum dalam lapangan pertahanan.” Sementara itu, fungsi legislasi didasarkan pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1958 tentang Dewan Perancangan Nasional yang menyebutkan bahwa pejabat militer dapat menjadi anggota Dewan Perancang Nasional yang bertugas mempersiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional. Hal ini sebenarnya memberikan legalisasi bagi militer dalam fungsi sosial politiknya.[7] Namun, ketentuan ini sangat kontradiktif dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 yang menyebutkan bahwa seorang anggota angkatan perang tidak boleh menjalankan politik, dalam arti bahwa tidak boleh mengambil sikap atau tindakan yang dapat mengurangi tata tertib tentara.

3. Periode 1959 – 1966

Selain memegang fungsi pertahanan, TNI juga mengemban fungsi non militer. Fungsi non militer ini didasarkan sebuah Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 3 Desember 1962 yang menentukan bahwa dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan dalam bidang produksi dan distribusi, pemerintah memanfaatkan satuan angkatan bersenjata yang bersedia sebagai tenaga terampil, setengah terampil, dan tidak terampil untuk membantu pelaksanaan proyek tersebut. Angkatan Darat telah mampu mempertahankan pengaruh yang cukup kuat dalam pemerintahan daerah ditandai dengan kenyataan bahwa komandan-komandan tentara pada semua tingkat duduk sebagai anggota dewan eksekutif yang memerintah provinsi dan kabupaten. Argumen tentara mengenai sebab keterlibatannya dalam sosial politik dan memainkan peran dalam semua bidang kegiatan pemerintah yaitu bahwa tentara adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh sebab itu, tentara memiliki tanggung jawab diluar fungsi teknisnya untuk membela bangsa.

4. Periode 1966 – 1998

Pada masa ini, sebutan TNI berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Fungsi sosial ABRI diatur dalam UU no. 16 Tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD I, dan DPRD II. Unsur angkatan bersenjata dapat menjadi anggota dewan legislatif sebagaimana Pasal 1 ayat 3 UU No. 16 Tahun 1969 yang berbunyi: “Anggota tambahan MPR terdiri dari: a. Utusan Daerah ; b. Utusan Golongan Politik dan Golongan Karya ditetapkan berdasarkan imbangan hasil pemilu; organisasi golongan politik / karya yang ikut pemilihan umum tetapi tidak mendapat wakil di DPR dijamin satu utusan di MPR yang jumlah keseluruhannya tidak melebihi sepuluh orang utusan; c. Utusan Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata yang ditetapkan berdasarkan pengangkatan.” Mengenai keikutsertaan anggota Angkatan Bersenjata ke dalam sebuah badan legislative, dalam penjelasan UU No. 16 Tahun 1969 disebutkan bahwa: “Mengingat Dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan sosial yang harus kompak dan bersatu dan merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal dan pengaman Pancasila atau UUD 1945 yang kuat dan sentosa, maka bagi ABRI diadakan ketentuan tersendiri. Fungsi dan tujuan ABRI seperti tersebut di atas tidak akan tercapai jika anggota ABRI ikut serta dalam Pemilu , yang berarti bahwa anggota ABRI berkelompok-kelompok berlain-lain pilihan dan pendukungnya terhadap golongan-golongan dalam masyarakat. Karena itu, maka anggota ABRI tidak menggunakan hak pilih dan hak dipilih, tetapi mempunyai wakil-wakilnya dalam Badan Permusyawaratan atau Perwakilan Rakyat dengan melalui pengangkatan.”

Untuk meningkatkan bobot dan legitimasi dwifungsi ABRI, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara. Pasal 26 dan Pasal 28 undang-undang tersebut dengan jelas mengatur fungsi non hankam (pertahanan dan keamanan) ABRI. Pasal 26 UU No. 20 Tahun 1982 berbunyi: “Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan sebagai kekuatan sosial. Selanjutnya, dikeluarkan UU No. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI dimana pada Pasal 6 ditentukan bahwa prajurit ABRI mengemban tugas dwifungsi yaitu kekuatan hankam dan kekuatan sospol. Lebih jelasnya, ketentuan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: “Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara dan kekuatan sosial politik.” Peran non hankam militer semakin menguat pada masa orde baru dengan adanya Tap MPR no. VIII/MPR/1973 tentang Pemilu yang membuat posisi ABRI di parlemen makin kuat. Disebutkan bahwa susunan keanggotaan DPR dan DPRD terdiri dari: Golongan Politik, Golongan Karya ABRI dan bukan ABRI. Sementara itu, susunan keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR ditambah Utusan Daerah, Utusan Golongan Politik, Utusan Golongan Karya ABRI dan bukan ABRI.

5. Periode 1998 – 2004

Dalam Tap MPR Nomor VII/MPR/2000, dinyatakan bahwa disamping peranya sebagai alat negara dalam pertahanan, TNI juga memiliki tugas bantuan dan ikut serta dalam penyelenggaraan negara. Sebagai alat negara, TNI berperan sebagai alat pertahanan negara dengan tugas pokok menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sedangkan tugas bantuan TNI diwujudkan dengan : [8]

1. Membantu penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan (civil mission).

2. Memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam undang-undang.

3. Membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia (peace keeping operation) di bawah bendera PBB. Selain itu, TNI juga berperan dalam penyelenggaraan negara dengan ketentuan:

1· Kebijakan politik negara merupakan dasar kebijakan dan pelaksanaan tugas TNI.

2· TNI bersikap netral dalam kehidupan politik praktis.

3· TNI mendukung tegaknya demokrasi, menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia.

4· Anggota TNI tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui MPR paling lama sampai dengan tahun 2009.

5· Anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas ketentaraan.

Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI juga ditegaskan bahwa anggota TNI dilarang untuk melakukan kegiatan politik. Pasal 39 menyatakan bahwa Prajurit dilarang terlibat dalam:

1. kegiatan menjadi anggota partai politik

2. kegiatan politik praktis

3. kegiatan bisnis

kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya. Lepasnya TNI dari kancah politik diharapkan akan membawa TNI ke arah profesionalisme. Tentara akan tumbuh sebagai kekuatan pertahanan yang terhindar dari politik praktis dan dunia bisnis.[9]

Dari gambaran sejarah intervensi militer dalam pemerintahan di Indonesia tersebut, keterlibatan TNI dalam kancah politik sering dijadikan rujukan kekhawatiran banyak pihak bahwa TNI akan memanfaatkan dan dimanfaatkan kembali oleh penguasa. Apalagi dalam sejarah 32 tahun Orde Baru berkuasa kekhawatiranitumenjelmadalambentuknyayang kasat mata. Penguasa saat itu memanfaatkan ABRI sebagai instrumen kekuasaan belaka. Kedekatan dengan kekuasaan inilah yang menjadikan ABRI saat itu dihujat. Adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa militer pernah tampil sebagai suatu rezim otoriter di negeri ini. Hal itu tak pelak menimbulkan trauma di masyarakat.

II. 2. Tinjauan HAM, Hak Memilih dan Turut Serta dalam Pemerintahan

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).Hak turut serta dalam pemerintahan sendiri sangat terkait dengan hak di bidang politik, di antaranya keikutsertaan dalam pemilu, baik sebagai calon yang akan dipilih maupun sebagai pemilih. Hak memlilih dan dipilih ini haruslah sesuai hati nurani, bukan karena paksaan atau di bawah ancaman.

Pelaksanaan hak turut serta dalam pemerintahan merupakan suatu bentuk perwujudan dari demokrasi. Karena sesungguhnya demokrasi itu sendiri memberikan berbagai kesempatan untuk :

1. Partisipasi yang efektif

2. Persamaan dalam memberikan suara

3. Mendapatkan pemahaman yang jernih

4. Melaksanakan pengawasan akhir terhadap agenda

5. Pencakupan orang dewasa[10].

Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak turut serta dalam pemerintahan diatur dalam Pasal 43 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 44. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan terdiri dari berbagai hak yang secara khusus diatur dalam pasal-pasal tersebut. Pembahasan dalam tulisan ini lebih menekankan pada hak untuk dipilih dalam pemilihan umum yang dinyatakan dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut:

“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Pasal ini menunjukkan bahwa pemilu merupakan suatu lembaga yang amat penting dalam pelaksanaan hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Pemilu harus mengutamakan hak bagi setiap warga negara untuk dipilih dalam pemerintahan maupun memilih wakil rakyat dan Presiden melalui pemilu. Dengan adanya ketentuan pasal ini maka melindungi hak setiap warga negara yang telah cukup umur atau sudah pernah kawin, untuk secara bebas memilih wakil yang diinginkannya dalam pemerintahan. Memilih disini berarti memilih anggota DPD, DPR, dan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Selain hak untuk memilih, warga negara Indonesia juga memiliki hak untuk dapat dipilih sebagai wakil rakyat ataupun presiden/wakil presiden. Hanya saja untuk hak dipilih ini terdapat beberapa ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi yang bukan hanya sekedar telah cukup umur atau sudah pernah kawin, melainkan persyaratan khusus yang diatur dalam undang-undang tersendiri.[11]

UUD 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hasil-hasil perubahan UUD 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan[12].

UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menyebutkan:

“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Berdasarkan pasal tersebut, bahwa semua Warga Negara (termasuk prajurit TNI) mempunyai kedudukan yang sama di bidang politik, yang berarti bahwa prajurit TNI memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Pasal 43 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 juga memberikan jaminan bagi warga negara untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Di lain sisi, Undang-Undang yang mengatur mengenai pemilu sama sekali tidak memberikan hak pilih kepada TNI sehingga TNI tidak bisa melaksanakan haknya sebagaimana halnya warga Negara lainnya.

Pemilu juga memiliki kaitan erat dengan prinsip negara hukum sebab melalui pemilu rakyat dapat memilih wakil-wakilnya yang berhak membuat produk hukum dan melakukan pengawasan atau pelaksanaan kehendak-kehendak rakyat yang digariskan oleh wakil-wakilnya tersebut. Diantara prinsip-prinsip negara hukum yang berkaitan erat dengan pemilu adalah : (1) perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, (2) persamaan di depan hukum dan pemerintahan, dan (3) serta adanya pemilu itu sendiri yang bebas. Oleh karena itu, dengan adanya pemilu maka hak asasi rakyat yang berkaitan dengan bidang politik dapat disalurkan serta dengan pemilu, hak untuk sama di depan hukum dan pemerintahan juga mendapat salurannya. Dengan adanya pemilu yang bebas maka maksud pemilu sebagai sarana penyalur hak demokratis atau hak politik rakyat dapat mencapai tujuannya[13]. Jika kita mengacu pada kaidah demokrasi universal, bahwa seseorang yang memiliki profesi tertentu, tidak kehilangan hak-hak politiknya. Khususnya hak memilih dalam pemilu. Semua warga negara pada prinsipnya mempunyai hak dan kewajiban sama. Demikian pula bagi anggota TNI, status kewarganegaraannya sama dengan WNI lain.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak memilih dan dipilih bagi anggota TNI dalam Pemilu secara jelas menyatakan bahwa anggota TNI tidak menggunakan hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Namun demikian, sekiranya ada hal-hal lain yang patut menjadi pertimbangan bagi kehidupan demokrasi Indonesia di kemudian hari berkaitan dengan hak anggota TNI dalam Pemilu.

II.3 Hak Memilih TNI Dikaitkan dengan Fungsi TNI dan Pasal 43 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

Melihat sejarah fungsi TNI yang telah penulis paparkan pada bagian sejarah, maka terlihat jelas pada masa transisi dari Orde Baru menuju reformasi, kemapanan TNI menjadi goyah. Bahkan telah terjadi reformasi internal untuk mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat. Fungsi TNI pada dasarnya adalah fungsi pertahanan, namun pada periode Orde Baru, TNI justru menduduki posisi-posisi sentral dalam pemerintahan. Ada pendapat dari sekelompok masyarakat yang menyatakan bahwa keikutsertaan prajurit TNI sebagai pemilih akan menarik TNI ke dalam kancah politik praktis seperti pada masa Orde Baru serta akan membahayakan pengembangan kehidupan demokrasi. Kekhawatiran seperti itu sah saja, akibat trauma masa lalu, namun di era keterbukaan saat ini dimana supremasi hukum dijunjung tinggi pendapat tersebut mungkin terlalu ”dini”, karena pada hakekatnya prajurit TNI adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki hak dan kedudukan sama dengan Warga Negara lain dalam berdemokrasi.[14]

Sesuai UUD 1945 pasal 27 UUD 1945, prajurit TNI adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Warga Negara lain khususnya di bidang politik. Selanjutnya sesuai UU RI Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum antara lain pasal 19, dinyatakan bahwa semua Warga Negara Republik Indonesia yang sudah berumur 17 tahun atau sudah / pernah kawin mempunyai hak memilih. Hal ini mengandung pengertian bahwa prajurit TNI sebagai Warga Negara juga mempunyai hak pilih dalam Pemilu. Ketentuan UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 di atas mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak politik warga negara dan secara lebih khusus lagi berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Makna dari ketentuan tersebut menegaskanbahwa segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilihan Umum khususnya mengatur tentang hak pilih warga negara, seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk bisa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum, sebab pembatasan hak pilih warga negara merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia.[15]

II.4. Penolakan Terhadap Pemberian Hak Memilih TNI

Untuk memutuskan apakah hak pilih TNI akan diberikan pada pemilu atau tidak, bukanlah persoalan sederhana karena berkait dengan keberhasilan reformasi internal TNI, kondisi baik/buruknya TNI, bahkan kondisi bangsa dan negara di masa datang. Pada umumnya mereka yang setuju diberikannya hak pilih TNI adalah karena alasan idealisme demokrasi bahwa hak politik perorangan merupakan hak asasi manusia yang harus diberikan kepada siapa pun, termasuk anggota militer. Lalu ada juga kelompok "politikus", alasan formal kelompok ini sama dengan kelompok pertama, yaitu idealisme demokrasi dan TNI sudah cukup dewasa untuk melakukannya. Namun sangat mungkin juga bahwa alasan sebenarnya adalah "kepentingan kelompok".

Perlu disadari secara jujur bahwa pada saat ini TNI belum sepenuhnya sembuh dari kerusakan kultural masa lalu. Jadi sangat beralasan adanya kekhawatiran terjadi akibat buruk bagi TNI bila hak pilihnya diberikan pada Pemilu, karena yang terjadi bukan hanya sekedar fragmentasi tetapi juga akan memperburuk kerusakan kultural dan kompetensi keprajuritan.

Motivasi pendekatan elite parpol kepada TNI adalah untuk memanfaatkan pengaruhnya, dan berbicara tentang pengaruh akan sangat sulit untuk dibatasi hanya bersifat individual tetapi sangat mungkin merembet ke level institusional (pelibatan satuan). Sejauh pemantauan penulis, para prajurit sendiri cendrung tidak begitu peduli pada hak politiknya tersebut ; yang paling dibutuhkan adalah peningkatan kesejahteraan. Pemberian hak pilih kepada TNI harus dilakukan dengan perhitungan situasi yang matang, tidak hanya sekedar melegitimasi keinginan elite politik. [16]

Selain itu, pemberian hak pilih kepada TNI akan bertentangan dengan UU RI No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian. Ketentuan tersebut terdapat dalam Bab II Pasal 3 ayat 2, yang pernah dijabarkan ke dalam PP No. 12/1999. Disebutkan, bahwa pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus parpol. Oleh karena itu, pegawai negeri termasuk anggota TNI yang menjadi anggota dan atau pengurus parpol harus diberhentikan sebagai pegawai negeri atau anggota TNI. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam surat Badan Kepegawaian Negara (BKN) No. K.26-17/V.19-14/99 pada point 2.a yang memperkuat pelaksanaan UU No. 43 tahun 1999.

Bagi pegawai negeri sipil ataupun TNI yang menjadi anggota atau pengurus parpol setelah berlakunya UU tersebut, maka yang bersangkutan bisa diberhentikan dengan hormat jika sebelum menjadi anggota atau pengurus parpol memberitahukan kepada pejabat yang berwenang. Begitupun mereka bisa diberhentikan secara tak hormat, jika sebelum menjadi anggota atau pengurus parpol tak memberitahukan diri. Larangan menjadi anggota atau pengurus parpol secara tegas juga diberikan kepada keluarga (istri/suami) prajurit TNI.

Di Pemilu 2009, sudah sangat jelas Prajurit TNI yang akan menggunakan haknya untuk dipilih dalam Pemilu dan Pemilukada harus membuat pernyataan mengundurkan diri dari dinas aktif dengan kata lain pensiun sebelum tahap pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada. Sikap ini lugas tertuang dalam surat telegram Panglima TNI Nomor STR/546 / 2006 tanggal 22 Agustus 2006. Panglima TNI saat itu, menginstruksikan agara seluruh anggota TNI tidak diperkenankan menjadi anggota KPU di pusat maupun daerah. Tidak diperkenankan campur tangan dalam menentukan dan menetapkan peserta Pemilu. Dilarang memobilisir semua organisasi sosial, keagamaan dan ekonomi untuk kepentingan parpol dan kandidat tertentu.

Pendapat lain mengatakan bahwa TNI belum menjalankan peran sebagai TNI yang profesional, TNI belum menyelesaikan agenda reformasinya. Agenda reformasi yang dimaksud menyangkut perubahan struktur, kultur dan doktrin dalam tubuh TNI. Niatan memberikan hak memilih bagi TNI dikhawatirkan akan mereduksi reformasi internal yang saat ini sedang berjalan[17]. Pasca reformasi, TNI telah berupaya merumuskan paradigma baru. Salah satu substansinya, TNI bertekad meninggalkan fungsi sosial politik yang di zaman Orde Baru populer dengan sebutan dwi fungsi dan berkonsentrasi pada fungsi pertahanan. Dengan demikian, konsekuensinya seluruh jajaran TNI baik institusi, satuan, maupun perorangan tak lagi melakukan kegiatan politik praktis ataupun menjadi partisan salah satu parpol. Sebagai rujukan, berdasarkan TAP MPR Nomor: VII/MPR/2000 ditetapkan, peran TNI sebagai alat pertahanan NKRI. Untuk mewujudukan perannya sebagai alat negara, kebijakan TNI dalam Pemilu seyogianya mendukung agar penyelenggaraan Pemilu dapat terlaksana secara lancar dan konstitusional.

TNI sebagai salah satu komponen bangsa yang masih mempunyai pengaruh cukup besar di kalangan masyarakat sangat mungkin dijadikan sasaran tarik-menarik kekuatan politik peserta Pemilu. Hal tersebut cukup beralasan mengingat TNI mempunyai organisasi yang terstruktur di seluruh penjuru tanah air. Paling tidak ada dua hal yang rentan jika TNI kembali terlibat politik praktis.

Karakteristik yang kental di tubuh TNI adalah satu komando (unity of command). Organisasi hirarkis yang sangat mengedepankan ketaatan pada atasan. Terbayang betapa bahayanya jika TNI harus mendukung parpolyang jumlahnya puluhan atau kandidat capres dalam pemilu. Fragmentasi kekuatan politik akan berpotensi menyeret mereka pada situasi ketidakpastian, terlebih di saat yang bersamaan tingkat kesejahteraan dan penguatan kelembagaan masih belum baik. Kedua, saat ini reformasi internal di tubuh TNI belum tuntas. Pusaran konflik politik dalam Pemilu akan mengancam proses yang sedang berjalan, sehingga dikhawatirkan semuanya akan kembali ke titik nol.

BAB III

Penutup

III.1. Kesimpulan


  1. Terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai pemberian hak pilih kepada TNI. Pandangan pertama dari pihak yang pro terhadap pemberian hak pilih kepada TNI melandaskan pendapatnya pada ketentuan mengenai hak asasi manusia. Undang-Undang Pemilu 2003 maupun 2008 maupun 2011 memang dinyatakan bahwa TNI tidak menggunakan hak pilihnya, padahal hak memilih merupakan hak sebagai warga negara Indonesia untuk turut serta dalam pemerintahan sebagaimana dijamin oleh oleh Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan:

“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Maka jika kita mau konsisten terhadap bunyi Pasal Undang-undang Dasar tersebut yang bahwa semua Warga Negara (dimana termasuk juga prajurit TNI) mempunyai kedudukan yang sama di bidang politik, yang berarti bahwa prajurit TNI memiliki hak yang sama untuk memilih dalam Pemilu.


  1. Pihak yang kontra terhadap pemberian hak pilih kepada TNI menyatakan bahwa pemenuhan hak pilih bagi TNI tidak dapat begitu saja dilaksanakan. Untuk memutuskan apakah hak pilih TNI akan diberikan pada pemilu atau tidak, bukanlah persoalan sederhana karena berkait dengan keberhasilan reformasi internal TNI, kondisi baik/buruknya TNI, bahkan kondisi bangsa dan negara di masa datang. Perlu disadari secara jujur bahwa pada saat ini TNI belum sepenuhnya sembuh dari kerusakan kultural masa lalu. Jadi sangat beralasan adanya kekhawatiran terjadi akibat buruk bagi TNI bila hak pilihnya diberikan pada Pemilu.
  2. TNI pada dasarnya memiliki fungsi utama yaitu fungsi pertahanan. Seiring dalam perkembangannya dalam berbagai periode, TNI juga mengemban tugas sosial politik dan pada puncaknya pada masa Orde Baru dimana anggota TNI menduduki jabatan-jabatan politis yang penting di negeri ini. Untuk mencegah terulangnya hal-hal yang kurang baik (otoriterisme) pada masa Orde Baru yang berkaitan dengan fungsi sosial politik TNI, maka anggota TNI jika suatu saat nanti kembali diberikan hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu maka harus berpedoman pada ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, melaksanakan reformasi internal TNI serta TNI dapat bersikap professional dengan tetap konsisten pada sikap netralitas TNI dalam pelaksanaan Pemilu.

III.2. Saran

Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka sekiranya saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut:


  1. Walaupun Pemilu 2014 masih cukup lama, topik mengenai pemberian hak pilih kepada TNI sudah sangat hangat dibahas dimedia-media. Banyak pendapat yang muncul, dengan segala argumentasi. Sebagian tidak setuju untuk memberikan hak pilih kepada TNI dan sebagian lainnya justru sangat mendukung untuk segera memberikan hak pilih TNI. Apabila mengikuti perbedaan pendapat yang terjadi antara mereka yang pro dan kontra, ternyata mereka punya alasan dan argumentasi masing-masing dengan ukuran sendiri-sendiri yang cukup masuk akal. Menurut pendapat penulis pribadi yang paling bijaksana adalah menyerahkan sepenuhnya masalah hak pilih tersebut kepada TNI untuk mempelajari dan kemudian mengusulkan kepada lembaga berwenang tentang keputusan tersebut.
  2. Reformasi TNI yang saat ini berjalan harus tetap konsisten melaksanakan perubahan kultur di tubuh TNI, harus tetap berjalan sehingga kelak masalah mengenai perlu tidaknya TNI diberikan hak pilih tidak lagi mengemuka karena pada dasarnya prajurit TNI adalah juga warga negara Indonesia.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie Jimly, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta : 2003.

Eko Widiarto Aan, M. Ali Syafaat, Herman Suryokumoro, Dinamika Militer dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Malang: In Trans Publishing : 2007.

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Paradigma Baru Peran TNI Sebuah Upaya Nasionalisasi, (Jakarta: Mabes TNI, 1999)

MD Mahfud., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Jogyakarta : 1999.

Modul perkuliahan mata kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Notosusanto Nugroho, Pejuang dan Prajurit Konsepsi Dwi Fungsi ABRI, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.

Syahnakri Kiki, Aku Hanya Tentara, Catatan Militer, Kepemimpinan, dan Kebangsaan, Penerbit Kompas, Jakarta : 2009.

Yulianto Arif, Hubungan Sipil dan militer di Indonesia Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi, Jakarta: Rajawali Pers: 2002

Sumber Internet

www.pusterad.mil.id , Danpusterad Mayjen TNI S.Simanjuntak, Netralitas TNI sebagai Wujud Profesionalitas Tugas dalam Menghadapi Tahun Politik 2009.

http://news.okezone.com/read/2011/11/25/339/534439/gerindra-dukung-tni-polri-diberi-hak-pilih, diakses pada 11 Desember 2011.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/446902/, diakses pada 11 Desember 2011.

[1] http://news.okezone.com/read/2011/11/25/339/534439/gerindra-dukung-tni-polri-diberi-hak-pilih, diakses pada 11 Desember 2011

[2]http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/446902/, diakses pada 11 Desember 2011

[3] Ibid.

[4] Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Paradigma Baru Peran TNI Sebuah Upaya Nasionalisasi, (Jakarta: Mabes TNI, 1999), 19.

[5] Ibid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun