Dalam kehidupan sosial, tak jarang kita menemui fenomena paradoksal: sesuatu yang dimusuhi, justru makin berkembang. Fenomena ini juga terjadi dalam konteks organisasi, termasuk organisasi persilatan. Ungkapan "semakin dimusuhi, semakin besar" bukanlah mitos, melainkan sesuatu yang dapat dijelaskan secara logis dan sosial.
Organisasi persilatan di Indonesia, baik yang bersifat tradisional maupun modern, memiliki akar kuat dalam budaya, sejarah, dan komunitas lokal. Ketika sebuah organisasi persilatan dimusuhi atau ditindas---baik secara langsung maupun tidak langsung---justru organisasi tersebut bisa mengalami peningkatan eksistensi, solidaritas, hingga jumlah anggota. Mengapa bisa demikian?
1. Efek Streisand dan Rasa Ingin Tahu Publik
Salah satu alasan utama mengapa organisasi yang dimusuhi bisa menjadi lebih besar adalah karena adanya efek Streisand. Ini adalah fenomena ketika upaya untuk menyembunyikan atau menekan sesuatu justru menarik perhatian publik lebih besar. Saat sebuah organisasi persilatan difitnah, dilarang, atau diberi stigma negatif, masyarakat justru terdorong untuk mencari tahu lebih dalam: "Mengapa organisasi ini dimusuhi?"
Ironisnya, kampanye negatif malah menjadi promosi gratis. Dalam dunia digital, satu video kontroversial tentang organisasi bisa tersebar viral, membuka rasa penasaran banyak orang yang sebelumnya tidak tahu-menahu tentang keberadaannya.
2. Solidaritas Internal yang Semakin Kuat
Permusuhan dari luar biasanya memicu reaksi persatuan dari dalam. Organisasi persilatan memiliki struktur kekeluargaan yang kuat. Saat mereka merasa diserang, secara alami anggota-anggota akan mempererat solidaritas dan loyalitas terhadap organisasi.
Permusuhan dianggap sebagai ujian kehormatan. Ini justru memicu semangat juang, kebanggaan identitas, serta komitmen untuk mempertahankan eksistensi organisasi. Dalam konteks ini, musuh dari luar justru memperkuat fondasi internal.
3. Narasi Korban dan Simpati Masyarakat
Dalam budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung nilai keadilan dan empati, kelompok yang dipersekusi cenderung mendapatkan simpati. Saat sebuah organisasi persilatan diperlakukan tidak adil atau mengalami diskriminasi, masyarakat akan melihatnya sebagai korban ketidakadilan.
Simpatik publik ini bisa berujung pada dukungan moral maupun keanggotaan baru. Banyak orang akan bergabung bukan semata-mata karena teknik bela diri, tapi karena ingin memperjuangkan nilai keadilan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakbenaran.