Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Penduduk Desa di Sumba Makan Ughi, Pertanda Apakah Itu?

12 Maret 2018   20:44 Diperbarui: 16 Maret 2018   15:30 2972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: johntaena.blogspot.co.id

SEKITAR lima tahun belakangan ini, sudah tidak terdengar lagi atau mungkin tidak ada yang mengeksposnya, isu tentang penduduk atau warga masyarakat pedesaan di Pulau Sumba, yang mengonsumsi ughi (sebutan orang Kodi) atau uwi (lafal orang Wewewa), atau Iwi (istilah orang Sumba Timur). Isu ini paling sering terjadi di wilayah Kabupaten Sumba Timur.

Ubi gadung, demikianlah masyarakat Indonesia mengenalnya, hidup dan berkembang di areal semak dan hutan karena belum dibudidayakan di kebun dan pekarangan rumah. Secara morfologis, ughi merupakan tumbuhan yang menjalar dan merambat di batang-batang tegakan pohon. Batangnya berwarna hijau dan beruas. Setiap ruas ditumbuhi daun dan duri. Pada akarnya terdapat umbi, bisa tunggal dan juga majemuk. Umbinya bisa sebesar umbi petatas atau keladi, namun bergetah dan menyebabkan rasa gatal jika mengenai tubuh kita.

Ubi gadung tersebut memang memiliki kandungan karbohidrat dan rasanya enak jika dikonsumsi. Namun tentu setelah melalui proses (pengolahan tradisional) yang cukup lama, paling tidak sekitar satu bulan. Terburu-buru untuk mengonsumsinya akan menyebabkan rasa mabuk. Ubi gadung yang sudah diolah dan layak dikonsumsi, konon, bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit maag.

Lalu apa masalahnya jika ada orang yang tahu mengolahnya dan suka mengonsumsinya? Ubi gadung juga sesungguhnya sebagai bahan penting campuran pewarna (wantek tradisional) untuk kain-kain tenun asli Sumba dari benang kapas.

Parameter krisis pangan
Empiritas kehidupan masyarakat Pulau Sumba (baik wilayah timur maupun barat), ughi memang bukan merupakan bahan makanan pokok. Ughi juga bukan merupakan tumbuhan berumbi satu-satunya yang ada di hutan dan dapat dimakan. Masih ada ubi hutan lain yang rasanya enak dan manis, seperti laghuta atau kandeyo, yang umum dikenal dengan nama gembili.

Jika ada penduduk di Sumba mengambil ughi di hutan untuk dijadikan bahan konsumsi atau makanan, itu pertanda apa? Sejujurnya, orang Sumba umumnya, sepaham atau tidak, sangat "sombong dan bahkan feodal" dalam hal urusan menu untuk perut. Mereka atau kami, lebih senang makan nasi beras padi dan lauk daging atau ikan. Nasi jagung menjadi pilihan ketika stok beras menipis atau tidak ada lagi. Ubi kayu, keladi, dan petatas, dikonsumsi secara sembunyi setelah tidak punya padi dan jagung lagi. Ughi diambil setelah ubi hutan lain sudah habis. Jadi, ughi baru akan diambil oleh penduduk apabila terpaksa, ketika terjadi krisis atau kekurangan bahan makanan. Kondisi ini biasanya terjadi pada musim kemarau yang sangat panjang.

Jika terjadi kondisi seperti itu, memang tidak serta merta dapat dikatakan sebagai pertanda sedang terjadi krisis pangan. Karena untuk mengambil konklusi tentang kondisi pangan harus dicermati tingkat ketersediaan unsur-unsur penting penopang ketahanan pangan. Bukan dari subsektor tanaman pangan dan hortikultura saja, akan tetapi juga berkaitan dengan subsektor-subsektor perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan serta ketersediaan sumber bahan pangan di pasaran.

Masalah yang memrihatinkan
Ada satu dua orang penduduk Sumba makan ughi, kiranya tidak menjadi masalah karena bisa saja dikatakan (mungkin) sebagai makanan kesukaan mereka. Makan Ughi tentu bukan dosa, karena makanan itu ciptaan Tuhan juga. Makan Ughi sebagai hasil budidaya petani, patut diapresiasi dengan penghargaan setimpal karena merupakan prestasi yang membanggakan.

Tetapi bagaimana kalau makan Ughi karena krisis stok bahan makanan dan frekuensinya sering terjadi? Ini tentu masalah yang sangat memprihatinkan.

Mengapa? Karena kekurangan bahan makanan adalah gambaran kemelaratan. Kemiskinan berlabel ketidakberdayaan ekonomi. Materai keringkihan sumber daya manusia yang ada. Potret visi kebijakan politik para pemangku kepentingan yang absurd. Manajemen tata kelola modal (daerah) yang tak ada alfa dan omeganya.

Tiga raksasa tidur
Fenotipe Pulau Sumba, menurut pengamatan sekilas Adi Sasono, Mantan Menteri Koperasi dan UKM, ketika bertandang di Sumba Barat Daya beberapa waktu lalu, adalah daerah yang sangat potensial, tanahnya subur dan bisa ditumbuhi tanaman apa saja, kawasan pantainya indah, dan lautnya berisi aneka ikan/cumi, serta ternaknya berkembang baik selaras alamnya yang memanjakan. Dia bahkan membandingkan daerahnya di Bandung yang tidak sesubur tanah Sumba. Aneh, katanya, kalau negerinya kaya tapi rakyatnya miskin.

Konklusi sementara Adi Sasono, rakyat Sumba miskin, disebabkan oleh tiga raksasa tidur yakni Lahan Tidur, Manusia Tidur, dan Modal Tidur. Adi Sasono tidak menguraikannya lebih lanjut, mungkin karena khawatir ada yang tersinggung.

Sinyalemen Adi Sasono tersebut barangkali ada benarnya. Pertama, menyangkut lahan tidur. Lahan terbuka dan subur yang belum diolah masih jutaan hektar. Kemampuan olah petani (KK tani) rata-rata hanya sekitar seperempat hektar. Kemampuan olah lahan yang demikian itu, menghasilkan produksi pertanian yang kurang memadai dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang jumlahnya lebih dari 5 orang jiwa.

Kedua, menyangkut manusia tidur. Apakah betul orang-orang Sumba pemalas? Orang awam akan mengatakan ya. Tapi banyak peneliti dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berpendapat lain, yaitu orang Sumba kurang bekerja keras dan belum bekerja cerdas. Maklum, karena orang Sumba umumnya kurang berpendidikan. Celakanya, cukup banyak juga orang Sumba yang berpendidikan dan bahkan mempunyai posisi yang mentereng, tapi tidak memancarkan cahaya sebagai suritauladan dan tempat belajar bagi orang Sumba kebanyakan yang tidak berpendidikan untuk bekerja keras dan cerdas. Oleh karenanya jangan heran kalau jarang kita melihat petani NTT yang sukses, pegawai yang membanggakan dan pejabat (apa saja) yang dapat diteladani.

Dan ketiga, berkaitan dengan modal tidur. Hampir belum terdengar, ada pengusaha sukses mendorong petani miskin. Demikian juga, jarang kita menyaksikan ada pejabat besar bertani bersama rakyat kecil. Modal-modal mereka tidak bermakna apa-apa untuk orang-orang di sekeliling mereka. Lebih sadis lagi, jika modal yang ada di pemerintah tidak berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak yang miskin.

Seberapa besarkah APBD diarahkan untuk mendorong orang-orang miskin yang umumnya adalah petani? Jangan sampai kita belum bergeming dengan tradisi --(mohon maaf ya!)-- mengaburkan dan mengubur anggaran atas nama kepentingan rakyat melalui program atau kegiatan yang absurd.

Jika kita menyadari bahwa benar ada tiga raksasa yang tidur, maka marilah kita membangunkannya menjadi tiga raksasa yang terjaga. Jangan ditunda. Harus dimulai saat ini. Mumpung masih musim hujan. Lahan-lahan yang tidur segera diolah. Supaya petani memiliki kebun luas. Untuk menanam aneka komoditi tanaman pangan atau tanam secara berlapis.

Tentu untuk mewujudkan hal tersebut sangat diharapkan adanya political will pemerintah dan DPRD melalui kebijakan alokasi anggaran yang memadai. Dukungan dan bantuan LSM dan Swasta. Itu pun tidak cukup karena kemauan keras petani juga menjadi kunci utama menuju sukses, "rakyat yang berkecukupan pangan dan sandang".

 

Rofinus D Kaleka *)

12 Maret 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun