"Tidak ada kata terlambat untuk memiliki masa kecil yang bahagia." - Tom Robbins
Potret gambar di atas saya ambil beberapa hari yang lalu. Mereka adalah dua keponakan saya yang usianya tidak jauh beda. Si kakak (kiri) yang usianya 18 bulan atau satu tahun setengah. Sedangkan adik (kanan) yang usianya lebih muda dari kakak, yakni 7 bulan. Mereka merupakan saudara sepupu yang pada siang itu tengah bermain bersama.Â
Terlihat si kakak memegang 2 mainan di tangan kanan dan kirinya. Mainan berwarna kuning sebenarnya milik adik dan mainan berwarna oranye adalah replika sayur wortel milik kakak.Â
Ketika adik ingin meminjam wortel, si kakak berkata "jangan, jangan!!" Jika saya amati kakak tidak mau meminjamkan wortel miliknya kepada adik, di sisi lain kakak tetap memegang mainan milik adik.Â
Hal seperti ini sangat lumrah terjadi pada anak usia dini karena anak usia dini terkenal dengan sifat egosentrisme. Contoh dari sifat egosentrisme pada anak antara lain, iri atau cemburu, tidak mau mengalah, tantrum, dan tidak mau berbagi.Â
Apabila terjadi hal seperti di atas, sebagai orang tua jangan sampai melarang anak untuk bermain dengan saudara atau teman sebayanya.Â
Beri ruang kepada anak untuk tetap bermain, tetapi juga dalam pengawasan orang tua. Sebab dunia anak-anak adalah bermain untuk belajar. Bagaimana maksudnya?
Bermain merupakan sebuah kegiatan yang menyenangkan bagi anak, dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan, dan tidak memikirkan hasil akhir. Ki Hajar Dewantara (1977: 243) dalam Putri (2014: 132) mengatakan bermain merupakan kegiatan keseharian setiap anak. Kemudian Tedjasaputra (2001: xvi) menuturkan bahwa bermain adalah dunia kerja anak usia prasekolah dan menjadi hak setiap anak untuk bermain, tanpa dibatasi usia.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!