Oleh : Muhamad Rodin - Aktivis Pemuda  Nusantara
Pembangunan Pelabuhan Pulau Pramuka yang dimulai sejak 2022 dengan anggaran Rp78 miliar hari ini hanya menyisakan rangka besi berkarat dan janji kosong. Proyek yang digadang-gadang menjadi pusat mobilitas dan penggerak ekonomi Kepulauan Seribu itu justru berhenti di tengah jalan. Ironisnya, di tengah kegagalan menyelesaikan pelabuhan tersebut, pemerintah kembali membuka proyek baru: pembangunan pelabuhan di Pulau Pari. Logika apa yang dipakai? Jika yang lama tak bisa dituntaskan, mengapa membangun yang baru?
Dari sisi regulasi, proyek infrastruktur strategis wajib tunduk pada asas perencanaan yang matang, pengawasan yang ketat, serta akuntabilitas publik. Fakta bahwa pelabuhan mangkrak membuktikan adanya kelalaian serius: mulai dari perencanaan cacat, lemahnya fungsi pengawasan, hingga indikasi penyalahgunaan anggaran. Pernyataan Kadis Perhubungan yang mengatakan "anggaran sudah dikembalikan sebagaimana temuan BPK" sama sekali tidak menjawab substansi masalah. Uang mungkin kembali, tetapi waktu, kesempatan ekonomi, dan hak rakyat telah dirampas.
Secara ekonomi, Rp78 miliar bukan angka kecil. Itu adalah uang rakyat yang semestinya melahirkan akses transportasi, membuka jalur perdagangan, dan meningkatkan daya saing nelayan serta UMKM lokal. Alih-alih memberi manfaat, proyek ini justru mengubur harapan masyarakat di bawah beton dan karat. Dampaknya nyata: potensi wisata laut terhambat, hasil tangkapan nelayan sulit dipasarkan, biaya logistik tetap tinggi.
Bupati Kepulauan Seribu sebagai kepala daerah setempat tidak bisa bersembunyi di balik dalih kewenangan provinsi. Tupoksinya jelas: mengawasi, mengawal, dan memastikan pembangunan di wilayah berjalan. Membiarkan proyek Rp78 miliar mangkrak tanpa peringatan, koreksi, atau sikap tegas adalah bentuk kegagalan kepemimpinan. Seorang kepala daerah tidak hanya berfungsi sebagai seremonial, tetapi penanggung jawab moral dan politik bagi rakyatnya.
Demikian pula, UPPD Dinas Perhubungan dan Kadis Perhubungan DKI tak lepas dari sorotan. Keduanya memiliki tanggung jawab teknis atas jalannya pembangunan. Fakta bahwa proyek terbengkalai tanpa ada penyelesaian adalah bukti nyata pengawasan lemah, bahkan patut diduga ada pembiaran yang disengaja.
Karena itu, kehadiran BPK, KPK, dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) menjadi mutlak. BPK tidak cukup hanya mencatat temuan. KPK wajib mengusut apakah ada praktik permainan anggaran. Kejati harus memeriksa kemungkinan adanya tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Publik berhak tahu siapa yang bermain, siapa yang lalai, dan siapa yang sengaja menutup mata.
Pertanyaannya kini sederhana namun menyakitkan: Rp78 miliar untuk siapa? Untuk rakyat Kepulauan Seribu atau untuk kepentingan segelintir pejabat dan kontraktor? Jika negara benar-benar hadir, maka pelabuhan mangkrak di Pulau Pramuka tidak boleh berhenti sebagai cerita gagal, tetapi harus menjadi pintu masuk penegakan hukum yang tegas.
Sebab bila tidak, proyek ini akan abadi sebagai monumen kegagalan, simbol korupsi terselubung, dan bukti bahwa pembangunan di Kepulauan Seribu lebih sering menjadi permainan proyek daripada jalan menuju kesejahteraan rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI