Mohon tunggu...
Muhamad Rodin
Muhamad Rodin Mohon Tunggu... Aktivis Pulau Seribu / Aktivis HMI / Aktivis GPII / Aktivis Pemuda Nusantara

Aktivis Pulau Seribu / Kader HMI dan Kader GPII, Serta Pejuang Politik. Menulis Adalah Bagian Dari Ikhtiar Perjuangan dan Senjata Perubahan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari 1MDB Malaysia ke Indonesia: Apakah Presiden Sedang Masuk Jebakan?

22 Agustus 2025   18:23 Diperbarui: 22 Agustus 2025   18:23 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istimewa
Istimewa
Oleh : Muhamad Rodin - Aktivis Pemuda Nusantara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN melahirkan sebuah babak baru yang kontroversial. Sebagian kewenangan Presiden kini resmi dilimpahkan kepada BUMN khusus, BPI Danantara. Bagi sebagian orang, ini dianggap langkah progresif: efisiensi birokrasi, percepatan pembangunan, serta profesionalisme pengelolaan aset negara. Namun, di balik euforia itu, sesungguhnya ada tanda tanya besar: apakah ini reformasi, atau justru perangkap politik yang dapat menggiring Presiden menuju jurang kejatuhan?

Konstitusi kita sudah sangat jelas. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD." Kewenangan Presiden bukan barang yang bisa dialihkan seenaknya kepada sebuah entitas bisnis, sekalipun berstatus BUMN. Lebih jauh, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Maka, pelimpahan kewenangan ini secara prinsip menabrak amanat konstitusi, sekaligus mengaburkan garis batas antara negara dan korporasi.

Sejarah dunia memberikan pelajaran pahit. Malaysia terjerat skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB), ketika dana investasi negara dikelola oleh BUMN semi-swasta. Alih-alih membawa kemakmuran, skandal itu justru menjerumuskan negeri jiran ke dalam krisis politik yang berujung pada kejatuhan Perdana Menteri Najib Razak. Ironisnya, jebakan itu bukan datang dari luar, melainkan lahir dari regulasi dan kebijakan yang ia tandatangani sendiri.

Indonesia harus bercermin. Dengan UU No. 1/2025 ini, Presiden seakan membuka ruang bagi lahirnya "pemerintahan bayangan" yang dikendalikan korporasi. DPR pun ikut bertanggung jawab, karena mereka yang mengesahkan. Pertanyaan menggelitik pun muncul: apakah DPR sedang memberi Presiden senjata untuk membangun bangsa, atau bom waktu yang kelak meledak di pangkuannya?

Apalagi, janji kampanye Presiden selalu menggema tentang "memperkuat kedaulatan rakyat, menjaga konstitusi, dan melindungi kepentingan bangsa di atas segalanya." Bagaimana mungkin janji itu dapat ditegakkan, jika sebagian kekuasaan justru dialihkan kepada korporasi, bukan tetap berada di tangan rakyat melalui Presidennya? Inilah kontradiksi yang tak terbantahkan, dan rakyat berhak bertanya: apakah Presiden sedang konsisten, atau justru sedang tergelincir?

Contoh negara lain pun memperingatkan. Argentina terpuruk karena menyerahkan banyak pengelolaan sumber daya strategis kepada perusahaan yang akhirnya tak akuntabel. Yunani jatuh dalam krisis utang ketika instrumen ekonomi negara dikendalikan oleh lembaga finansial luar. Malaysia tumbang karena 1MDB. Semua punya benang merah: kekuasaan negara yang dialihkan pada entitas korporasi tanpa kontrol rakyat, selalu berujung pada tragedi.

Maka pertanyaannya kini: apakah UU No. 1/2025 ini inovasi brilian, atau perangkap politik untuk menjatuhkan Presiden di masa depan?

Presiden harus berhati-hati. Alarm bahaya sudah menyala. Jangan sampai sejarah kelam Malaysia terulang di tanah air. Karena jika Presiden terus melangkah tanpa koreksi, bukan mustahil publik dan sejarah akan mencatat: kejatuhan itu bermula dari tanda tangan beliau sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun