Gegap gempita massa pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang menggelar shalat shubuh dan kampanye terbuka di Gelora Bung Karno (GBK) membuat gusar Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
SBY rupanya tidak setuju dengan konsep kampanye akbar yang dimulai dari Salat Subuh itu. Menurutnya, kampanye seperti itu cenderung eksklusif. Padahal, kampanye harusnya terbuka atau lebih inklusif.
Kegelisahan SBY itu terungkap dalam surat yang dikirimkan kepada pengurus Partai Demokrat beberapa waktu lalu, dan sempat beredar luas di media sosial.
"Karena menurut saya apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif," ujar begitu petikan surat dari SBY yang ditulisnya dari Singapura, Minggu (7/4).
Menurutnya konsep berkampanye hendaknya mencegah demonstrasi (show of force) identitas, baik yang berbasiskan agama, etnis serta kedaerahan, maupun yang bernuansa ideology, paham dan polarisasi politik yang ekstrim.
Calon pemimpin yang mengedepankan identitas atau gemar menghadapkan identitas yang satu dengan yang lain, atau yang menarik garis tebal "kawan dan lawan" untuk rakyatnya sendiri, dapat dipastikan pasti akan menjadi pemimpin yang rapuh.
Bahkan sejak awal sebenarnya dia(Prabowo) tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin bangsa. Karena sering mengeksploitasi narasi SARA dan mempertebal politisasi agama dalam kampanye politik.
Oleh karena itu, menurut SBY, Partai Demokrat tetap berpatokan pada kepentingan bangsa dan rasionalitas, serta tidak menyetujui konsep kampanye yang hanya mengakomodir golongan tertentu.
Kampanye akbar harusnya bisa mencerminkan ke-Indonesiaan, bukan justru menonjolkan supremasi golongan tertentu. Sebab, Indonesia dibangun atas beragam suku, bangsa, serta agama serta menolak kampanye menonjolkan eksklusivitas golongan tertentu.
Bagaimanapun dalam hal ini kita setuju dengan gagasan SBY. Kampanye yang mempolitisasi agama atau mengedepankan identitas akan sangat berbahaya bagi bangunan kebangsaan Indonesia.