Setelah jelas kedalaman makna kata Rabb, apa pula arti Al-‘Alamin? Namun, sebelum ini, mari kita tengok lembaran sejarah Mesir kuno yang diabadikan Al-Quran, Surat Asy-Syu’ara`: Dialog Nabi Musa dengan Raja Fir’aun yang juga penasaran, apa itu Rabbul ‘alamin?
Al-Kisah, setelah “hijrah” sekian lama di Kota Madyan, Nabi Musa kembali ke Mesir dengan status sebagai utusan Allah Swt. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): “Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir’aun: Mengapa mereka tidak bertakwa?” (QS. Asy-Syu’ara`: 10-11).
Setelah beberapa ayat, Al-Quran lebih lanjut mengisahkan pertemuan awal antara Nabi Musa dan Nabi Harun dengan Raja Fir’aun: “Maka datanglah kamu berdua kepada Fir’aun dan katakanlah olehmu: “Sesungguhnya Kami adalah utusan Rabbul ‘alamin, bahwa lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami.”
Terjadilah sanggahan Raja Fir’aun yang tak terima seseorang yang dulu ia asuh sejak kecil, lalu pernah membuat “onar”, tahu-tahu sekarang mendaku sebagai utusan Rabbul ‘alamin. Usai mendengar respon Nabi Musa atas sanggahannya, Fir’aun pun melontarkan pertanyaan ingkar; “Apa itu Rabbul ‘alamin?” (QS. Asy-Syu'ara`: 23)
Ia tak memakai kata “man” (siapa), tapi ma (apa), menandakan ejekan Fir’aun terhadap Dzat yang mengutus Nabi Musa sekaligus menunjukkan kecongkakannya yang tak mempercayai eksistensi Tuhan selain dirinya sendiri.
Dengan tetap santun, Nabi Musa menjawab, “Rabb-nya (Tuhan Pencipta) langit-langit, bumi, dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercai-Nya.”
Nah, dari jawaban Nabi Musa ini, Seorang Mufassir Kenamaan Syiria, Imaduddin Isma’il Ibnu Katsir Asy-Syafi’I (701-774 H) menyimpulkan bahwa maksud Al-‘Alamin disini adalah langit-langit, bumi, dan apa saja yang ada di antara keduanya[1]. Bahasa ringannya, yaa, alam semesta raya ini. Bahkan Imam Ar-Razi (w. 606 H) berani memprediksi kemungkinan besar eksistensi alam-alam semesta nan tiada hingga lainnya, yang tidak sebatas alam semesta versi pengetahuan manusia[2]. Konon, kutip Syekh Nawawi Banten dalam Bahjatul Wasa`il-nya, Allah telah menciptakan seratus ribu alam, berdasarkan riwayat bahwa Allah menciptakan seratus ribu pelita dan Ia gantungkan semua pelita ini di ‘Arys, maka, tujuh langit-bumi dan seisinya beserta surga-neraka, semua itu masihlah dalam satu pelita saja, dan tiada yang tahu apa yang ada dalam sisa pelita-pelita lainnya kecuali Allah Swt.[3]
Bayangkan, betapa luas dan dahsyatnya “seni-kreasi” ciptaan Allah Rabbul ‘Alamin.
Imam Abu Hanifah dan Sekelompok Atheis
Dan, sayangnya, banyak yang masih belum percaya. Masih banyak Fir’aun yang berkeliaran hidup sejak dulu hingga sekarang. Contohnya, kisah Abu Hanifah berikut. Sejarah mencatat, jauh sebelum menjadi imam mujtahid fiqh, Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H) pernah dikenal sebagai seorang teolog (mutakallim) masyhur di Iraq. Karena keahliannya di bidang teologi, Imam Abu Hanifah kedatangan rombongan atheis. Mereka mempertanyakan eksistensi Allah Swt.
“Sebentar,” dengan santai, Imam Abu Hanifah mulai merespon, “tinggalkan aku sendiri. Sebab aku sedang memikirkan informasi yang baru saja aku terima.”