Mohon tunggu...
Robertus W. Yudha
Robertus W. Yudha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pembelajar | Penikmat Sepakbola | Buruh Pekerja

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Sebuah Penghakiman pada Fans Sepakbola Indonesia

30 April 2014   22:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:00 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13988454711574500248

Sepakbola dalam konteks nasional sudah sedemikian jamak diasosiasikan dengan kekerasan dan kerusuhan. Sebuah vonis kejam yang berakar dari media dan kemudian tertancap secara kuat di dalam benak publik. Siapapun anda, selama memiliki ketertarikan pada dunia sepakbola nasional dan seisinya, terlalu sulit rasanya untuk bisa terlepas dari jeratan komentar sinis dan menghakimi. Terlebih saat terjadi sebuah insiden entah itu lapangan ataupun di tribun, posisi para penikmat sepakbola nasional seolah hanya layak untuk didudukkan di kursi tersangka tanpa berhak melakukan pembelaan. Gebyah uyah, mungkin begitu kata orang Jawa, bahwa semuanya itu sama saja. Sepakbola nasional beserta seluruh isinya itu rusuh, bodoh, dungu, kampungan, dan segala apapun itu yang bernada negatif. Semua dipukul rata. Semua diseragamkan secara brutal tanpa sedikit pun apresiasi pada setiap langkah positif untuk mengkoreksi agar sepakbola nasional mampu dikembalikan pada hakikatnya sebagai sebuah kompetisi dengan sportivitas sebagai nafasnya.

Namun demikianlah realitanya. Dengan gegabah, penghakiman pada iklim sepakbola nasional itu sedemikian mudah dijatuhkan. Mungkin bagi sebagian orang, adalah sebuah ritual mengasyikkan ketika sisi gelap dari sepakbola nasional itu dapat ditelanjangi untuk kemudian diadili secara massal. Dan layaknya seorang pengamat dan praktisi, secara tiba-tiba komparasi paksa antara iklim sepakbola nasional dengan iklim kompetisi sepakbola papan atas dunia seringkali dihadirkan sebagai titik awal penghakiman. Strategi dan teknik permanian yang memukau, manajemen yang profesional, hingga suporter yang konon jauh lebih tertib serta santun menjadi  argumen yang sedemikian jamak diutarakan sebagai pembanding yang timpang untuk menyudutkan sepakbola nasional. Singkat kata, sepakbola nasional itu tak ubahnya dipandang sebagai masalah yang layak untuk ditiadakan dari bumi Nusantara.

[caption id="attachment_305230" align="aligncenter" width="553" caption="Fans Sepakbola di Indonesia : Dipersalahkan Tanpa Pembelaan"][/caption]

Namun entah mengapa, semuanya langsung terasa naif saat perbandingan yang dihadirkan seolah terlalu disederhanakan begitu saja. Sepakbola tidaklah selugas itu. Layaknya seorang manusia, sepakbola lahir, tumbuh dan berkembang bersama dinamika sosial masyarakat di sekelilingnya. Dan dalam hal ini jelas, situasi sosial Indonesia tentu berbeda dengan Inggris, Prancis, Spanyol dan negara besar sepakbola lainnya. Sebagai sebuah negara yang masih berusaha berkembang, kompleksitas kehidupan sosial di Indonesia tentu masihlah sedemikian kusut dan belum terurai. Masih cukup banyak persoalan-persoalan mendasar tentang kebutuhan dasar hidup manusia yang belum terselesaikan disini. Sebagai imbasnya, tekanan kehidupan masyarakat pun akan terasa lebih berat. Menjadi semakin rumit saat mengingat bahwa situasi sepakbola sebuah negara  sedikit banyak akan bertautan dengan situasi kehidupan sosial yang terjadi. Saat kehidupan terasa semakin keras, maka hal itu akan berbanding lurus dengan iklim sepakbola yang tercipta.

Ya, memang berat rasanya untuk memimpikan iklim sepakbola yang ideal saat dalam kehidupan sosial masyarakat saja, masih tersisa cukup banyak ruang yang belum mampu dijangkau oleh negara....

Mungkin bolehlah kita untuk berharap di suatu saat nanti. Namun sejujurnya, apakah kita benar-benar siap saat negara nanti akan mulai menjangkau ranah olahraga dan membawa sepakbola nasional kepada titik yang sama seperti yang terjadi di Inggris dan negara sepakbola maju lainnya? Saat negara kemudian menyinergikan seluruh rekam jejak informasi pribadi kita ke dalam satu pusat data induk sebagai bentuk antisipasi pengawasan. Saat negara kemudian memasang instalasi kamera pengawas CCTV di pelbagai sudut stadion sebagai bentuk kontrol dan tindakan preventif. Saat secara perlahan kita kemudian kehilangan privasi, bahkan di ruang publik sekalipun. Apakah kita sungguh sudah siap? Di dalam layar kaca kita, para suporter sepakbola di negara-negara maju, khususnya Inggris, memang selalu tampak tertib dan santun. Tanpa pagar pembatas tribun pun, insiden kerusuhan hampir tidak pernah terjadi di stadion. Semuanya berjalan ideal seperti yang diharapkan. Namun tidak ingatkah kita. Bahwa disana ada ratusan pasang mata polisi yang terus mengintai dan lebih banyak lagi mata kamera di setiap sisi stadion yang tidak saja mengawasi namun juga mampu merekam wajah kita satu per satu. Sekali saja kesalahan diperbuat, seumur hidup dosa itu harus ditanggungnya. Ya, dengan sistem data terintegrasi, tidak ada yang sulit bagi pihak keamanan sebagai representasi negara untuk menemukan siapaun yang dianggap berulah. Dan saat semuanya sudah terlambat, lebih baik segera sampaikan salam perpisahan pada tribun stadion dan sepakbola. Maka, mari kembali pada pertanyaan awal, “Apakah kita siap...?”

Ya, itulah mengapa apa wajah sepakbola di negara seberang sana selalu tampak lebih indah memesona. Dan karenanya,  keindahan itu selalu nyaman dipandang namun tidak pernah mudah untuk dijalani. Benar, karena dibalik segala keteraturan yang tampak, ada sebuah represi yang termanifestasikan dalam bentuk pengawasan negara. Yes, we do. We watch you!

Toh demikian, apa yang kita lihat melalui media utama ternyata  tak selamanya mampu memotret seluruh realitas yang sesungguhnya di dunia nyata mereka. Sederhananya, saat kita coba menelusur media arus bawah, ternyata dengan mudah kita dapat melihat bahwa sepakbola di luar negeri pun tak bisa lepas dari cacat. Bahkan di Inggris sekalipun, rivalitas hingga bentrokan antara suporter masih jamak dengan memanfaatkan ruang-ruang publik yang secara kebetulan masih minim ataupun luput dari pengawasan negara. Ironis bukan? Bahkan dengan pengamanan sedemikian ketat, menihilkan konflik dalam sepakbola itu ternyata sama sekali tidak mudah.....

Lalu, mau sampai kapan kita dengan bangga justru merendahkan diri kita sendiri di hadapan sepakbola dunia luar yang ternyata juga tak sempurna? Entahlah, mungkin hanya Tuhan yang tahu.....

Tetapi tunggu dulu. Meskipun demikian, ini bukanlah sebuah justifikasi terhadap gesekan ataupun kerusuhan yang terjadi di sepakbola, khususnya Indonesia. Yakinlah, jiwa kita masihlah terlalu mahal untuk dikorbankan dalam konflik yang seringkali terselip dalam sepakbola. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa untuk alasan apapun kerusuhan tetaplah hal yang buruk dan tidak pernah memberi keuntungan bagi siapapun yang terlibat di dalamnya. Hanya saja, dalam menyikapinya diperlukan suatu proporsi yang tepat. Tidak selamanya sesuatu itu bisa berada pada titik yang ideal. Ini adalah dunia yang sesungguhnya. Adalah sebuah kenyataan bahwa apa yang terjadi (das sein) tidak bisa selalu sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Saat kenyataan kita ternyata tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Jadi rasanya sangatlah tidak bijak ketika setiap tragedi dan bentrokan yang terjadi di sepakbola nasional justru dijadikan sebagai momentum untuk berbagi hujatan dan ide instan nan naif untuk menghentikan atau membubarkan sepakbola di Indonesia. Jika benar sampai terjadi demikian, lalu kapan kita akan berani belajar menghadapi masalah dan menyelesaikannya? Ingat, yang kita butuhkan adalah penyelesaian dan bukan sekedar pengalihan....

Namun, apapun itu, memang sudah selayaknya sepakbola nasional segera dibenahi dengan terobosan-terobosan baru untuk kemudian dibawa ke arah yang lebih baik. Dan mengenai segala kekurangan serta permasalahan yang ditimbulkan, itu sudah menjadi konsekuensi dari suatu dinamika yang memang harus dialami oleh sebuah negara yang sedang belajar mengelola sepakbola. Biarlah etika dan keteraturan itu terlahir dari sebuah proses alami dan bukan melalui represi....

Dan dengan segala kerendahan hati, cukuplah sudah menghujat dan memperbandingkan sepakbola di Indonesia ini dengan negara sepakbola yang telah maju. Karena setiap hujatan dan perbandingan yang hadir itu tak lebih dari sebuah bukti bahwa kita tidak punya kapasitas untuk membenahi, melainkan sekedar bergunjing. Dibandingkan hujatan, kritik yang konstruktif (dan jika memungkinkan disertai tawaran solusi) tentu akan jauh lebih berarti. Ya, karena sepakbola nasional lebih membutuhkan urun rembug (diskusi) dan bukan urun misuh (mengumpat) untuk menemukan solusi. Ada masukan?

Ya, semoga sepakbola Indonesia semakin membaik. Sampai jumpa lagi....:)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun