Mohon tunggu...
Robby Milana
Robby Milana Mohon Tunggu... -

Saya senang menulis, bercerita, merenung, berdiskusi, mendengarkan apapun, membaca apapun, bercengkrama dengan anak dan isteri, memanage produksi acara televisi, membuat video, minum kopi, merokok, dan terlibat dalam humor. Motto hidup saya: "Saya tidak suka memaksa orang lain untuk suka pada saya."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Labeling: Penyimpangan yang Diciptakan

21 Desember 2016   13:01 Diperbarui: 21 Desember 2016   13:15 2437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://binibule.com

Ketika saya masih bergelut di dunia sekolah, saya pernah memperhatikan fakta ini: jika ada seorang guru mengatakan siswanya bodoh, maka perlahan namun pasti siswa itu akan berubah menjadi "bodoh." Pada awalnya saya cukup heran, mengapa sebuah perkataan yang dilontarkan dapat memberikan efek yang luar biasa, bahkan dapat membentuk prilaku seseorang. Didorong oleh rasa ingin tahu, akhirnya saya agak serius mengamati fenomena ini. Setelah beberapa saat melakukan pengamatan, saya berkesimpulan bahwa jika ada seorang siswa dikatakan bodoh, maka awalnya hal tersebut akan membuat dia malas belajar, lalu lama kelamaan membuatnya tidak perduli dengan proses belajar.

Di dalam benaknya mungkin tertanam persepsi, "Ngapain belajar, kalo udah belajar pun tetap dibilang bodoh." Masuk akal. Ini artinya, kalimat, kata-perkata, ucapan, atau bahasa verbal yang disampaikan oleh seseorang, terutama jika dia orang berpengaruh seperti guru, dapat memberikan efek konkret pada pembentukan atau perubahan prilaku orang lain. 

Dalam kehidupan sehari-hari pun sebetulnya kita sering mengalami, namun tidak ingin menganggapnya terlalu serius. Misalnya kalau ada orang yang bilang kita "begajulan", maka sontak kita akan segera introspeksi diri. "Benarkah saya begajulan?" Itu yang muncul di dalam pikiran kita. Jika kita terima, maka kita akan tetap berprilaku seperti adanya, bahkan mungkin berbangga. Tapi kalo tidak terima, kita akan mulai merubah prilaku kita dengan sendirinya. Ini efek dari ucapan verbal tadi. Konkret. 

Mari lihat lagi contoh lain. Seorang anak yang sering dibilang "kurang ajar" oleh orang tuanya, perlahan-lahan akan menjadi anak yang kurang ajar betulan. Tidak setiap orang akan menjadi demikian, namun umumnya begitu. Si anak berubah menjadi pemberontak, pemarah, tidak hormat dan (tentu saja) kurang ajar. 

Oke, mari kita cari tahu fenomena ini dari sudut pandang teoritis. Pada kesempatan ini saya tidak akan membidiknya dari sudut pandang komunikasi, melainkan dari sudut pandang sosiologi. Dalam sosiologi, ada sebuah tema menarik mengenai Konformitas dan Penyimpangan. Salah satu bentuk penyimpangan dalam penilitian sosiologi dikenal dengan nama teori "Labeling," yakni pemberian julukan, cap atau merk oleh masyarakat kepada seseorang atau sekelompok orang. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Edwin M. Lemert.

Menurut Lemert, pada awalnya seseorang tidak lantas menjadi menyimpang karena label yang diberikan kepadanya. Ada proses penyimpangan lain yang mendahuluinya sebelum itu. Lemert mengidentifikasi penyimpangan dimulai dengan terjadi penyimpangan primer. Penyimpangan primer merupakan penyimpangan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang. Misalnya mencuri. Saat seseorang tertangkap mencuri, maka masyarakat mulai memberikan cap kepadanya sebagai "pencuri." Boleh jadi waktu pertama mencuri, dia melakukannya karena terpaksa dan tindakan itu sebetulnya bertentangan dengan hati nuraninya. Namun ketika masyarakat terus memberikannya label sebagai pencuri, maka dia mulai melakukan penyimpangan sekunder, yakni dia merasa bahwa "pencuri" merupakan jati dirinya yang sebenarnya. Sejak label diberikan, seseorang yang terpengaruh oleh proses labeling itu akan menganut gaya hidup menyimpang seperti yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.

Ada sebuah contoh menarik dari eksperimen yang dilakukan William J. Chambliss. Chambliss melakukan eksperimen terhadap 8 orang siswa di sebuah sekolah menengah atas yang selalu melakukan kenakalan remaja; membolos, mencuri, meminum minuman keras, vandalisme, dan lain-lain. Namun 8 remaja nakal itu kemudian diberi julukan sebagai "Saints" (orang-orang yang suci atau mulia) oleh Chambliss. Efeknya ternyata mencengangkan.

Pertama-tama 8 siswa nakal tadi mulai sembunyi-sembunyi dan hati-hati ketika melakukan kenakalannya, karena mereka tidak mau masyarakat yang sudah mengenal mereka sebagai orang-orang yang suci akan berubah pikiran. Mereka senang dianggap sebagai remaja-remaja yang baik. Semakin lama, mereka semakin malu untuk melakukan kenakalan. Lama-lama kenakalan mereka berkurang dan pada akhirnya ditinggalkan sama sekali. Semua remaja itu kemudian menjadi remaja yang sukses dan tentu saja menjadi remaja yang baik bagi masyarakat.

Dampak pemberian julukan, label atau cap kepada seseorang bukan sekedar omong kosong. Pada masyarakat maju, pemberian julukan atau labeling dilakukan dengan sangat hati-hati. Mereka memikirkan dampak negatifnya. Karena itulah umumnya masyarakat maju hanya memberikan label positif, dengan harapan akan memberikan efek yang juga positif. Ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di dunia pendidikan atau lingkungan keluarga.

Namun sayangnya pada masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi dan pendidikan yang masih lemah, hal ini tidak terlalu diperhatikan. Mereka dengan kejam seringkali memberikan label, cap atau julukan buruk kepada seseorang yang justru menjadikan orang itu menjadi seperti yang dilabelkan, dicapkan atau dijulukan kepadanya. Padahal dampaknya nanti akan kembali kepada masyarakat itu lagi. Jika terjadi, maka cenderung merugikan banyak pihak.

Ada beberapa profesi yang semestinya sangat berhati-hati (atau kalau bisa jangan) dalam melakukan labeling, karena akan memberikan dampak buruk pada orang yang diberikan label. Profesi tersebut antara lain guru, pemuka agama, media massa dan elit politik. Di luar profesi, tentu orang tua dan masyarakat sekitar merupakan entitas paling berbahaya jika melakukan labeling, terutama kepada anak-anak sebagai generasi penerus. Namun begitu, kita (yang mungkin masih memiliki kepedulian kepada bangsa) sebaiknya menghentikan kegiatan pemberian label, terutama kepada generasi penerus. Label yang kita berikan bukan saja berdampak buruk, melainkan juga dapat menciptakan penyimpangan. Dengan memberikan label buruk kepada seseorang, kita sebetulnya seperti sedang membangun sebuah "kejahatan" jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun