Mohon tunggu...
Robbi Khadafi
Robbi Khadafi Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang Ketik, Sang Pengantar

Kecil disuka muda terkenal tua kaya raya mati masuk surga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Salah Kaprah Pendidikan di Indonesia

26 Oktober 2018   17:10 Diperbarui: 26 Oktober 2018   18:24 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemajuan suatu bangsa/negara ditentukan salah satunya dari kualitas pendidikannya. Sayangnya pendidikan di Indonesia yang penduduknya berjumlah sekitar 280 juta ini mengalami salah kaprah. Mengapa saya bisa memberikan penilaian/opini sekaligus kritik seperti itu? Jawaban saya dapat dari suatu kejadian yang tidak disengaja yang terjadi pada Senin lalu, di mana saya bertemu dengan seseorang dalam suatu acara panggilan interview kerja.

Bermula dengan perbincangan ringan sambil menunggu di interview. Seorang pria bertubuh kurus itu bertanya kepada saya melamar pekerjaan sebagai apa di kantor yang berlokasi di daerah Kwitang, Jakarta Pusat itu? Lalu saya jawab sebagai jurnalis. Lalu saya bertanya balik, kalau loe dipanggil untuk interview sebagai apa? Dia jawab sebagai animator. Saya mengira dia melamar saya dengan posisi saya sebagai jurnalis. Perbincangan yang terjadi di depan kamar kecil itu berlanjut di ruang tunggu interview.

Saya penasaran apa itu animator. Yang membuat saya lebih penasaran karena dia memakai seragam kerja sebuah perusahaan media terkemuka di Indonesia. Lalu dia menjelaskan animator itu seperti animasi dalam film-film kartun. Saya kembali bertanya, susah dong buatnya, harus di gambar dulu secara manual? Lalu dia jawab tidak. Tetapi memakai program/aplikasi digital.

Dalam pikiran saya wah hebat nih orang, pasti lulusan perguruan tinggi/kampus elit ini. Karena setahu saya, kampus yang terkenal dengan jurusan teknologi informasi/design itu elit dan mahal biaya masuk kuliahnya. Ternyata ketika saya tanya ke pria muda itu bukan lulusnya perguruan tinggi. Tetapi dia lulusan sekolah menengah kejuruan atau SMK.

Dari situ saya bertanya pada dirinya sendiri bahwa saya saja yang lulusan perguruan tinggi tidak bisa membuat animasi seperti yang dikuasai oleh pria yang baru lulus dari SMK pada 2016 itu. Begitu juga belum tentu lulusan-lulusan perguruan tinggi juruan teknologi informasi dan sejenisnya bisa menjadi animator dan bekerja di perusahaan media terkemuka tempat dia bekerja yang berlokasi di Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu.

Dari cerita dia atas, saya menilai ada yang salah dengan pendidikan di Indonesia. Terutama bila membandingkan dengan para lulusan sekolah menengah umum atau SMU, yang mayoritas apabila bekerja di suatu perusahaan terkenal atau bonafit hanya ditempat dibagian bawah. Misalnya menjadi office boy, penjaga keamanan, penerima tamu, dan posisi bawah lainnya yang tidak dituntut memiliki keahlian khusus.

Saya tidak heran mengapa lulusan SMK itu dinilai lebih berkualitas, memiliki skill/kemampuan yang benar-benar dibutuhkan dalam dunia kerja dibandingan dengan lulusan SMU. Sebab, lulusan SMU mempelajari banyak mata pelajaran, sehingga tidak fokus mendalaminya. Dan juga lulusan SMU itu lebih banyak berteori namun minim berpraktek. Sementara lulusan SMK itu lebih banyak berpraktek di lapangan. Bahkan setahu saya, anak-anak SMK itu sudah disalurkan oleh sekolahnya untuk bekerja/magang. Hebatnya dari situ mereka sudah bisa mendapatkan penghasilan.

Artinya anak SMK itu sudah sejak dini dipersiapkan oleh para pendidiknya memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Berbanding terbalik dengan anak SMU, dimana mereka dicecoki teori-teori yang pada nyata nanti tidak sepenuhnya dibutuhkan dalam dunia kerja.

Salah kaprah pendidikan di negara yang sudah merdeka 73 tahun ini, terjadi juga di tingkat perguruan tinggi. Adik saya yang kuliah di salah satu Universitas negeri di daerah Depok, Jawa Barat, benar-benar teks book ketika ujian. Dalam artian, apabila jawaban ujiannya tidak sama dengan yang tertera dalam buku maka salah. Ini artinya mahasiswanya tidak diajarkan untuk berimajinasi/bernalar untuk mengembangkan pola pemikirannya.

Di luar itu semua, kurikulum di Indonesia sering berubah-ubah. Setiap ganti rezim pemerintahan, kurikulum diubah. Hal ini tentunya merepotkan para pendidik dan murid-muridnya. Masih banyak lagi berbagai salah kaprah pendidikan di Indonesia yang tidak bisa ceritakan dan saya bahas lebih lanjut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun