Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Kafir dan "Ustadz Cangkokan"

6 Maret 2019   20:22 Diperbarui: 8 Maret 2019   07:59 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : madinaonline.id

Tulisan ini bisa mencerahkan tapi sekaligus bisa sangat menyesatkan. Tergantung pada kemampuan otak  kalian. Medeni.

Soal fatwa penghapusan sebutan kafir buat Non Muslim oleh NU, bagiku itu oke-oke saja. Malah bagus. Lanjutken!

Nggak cuman tubuh yang ada auratnya, kata pun ada auratnya juga. Nggak semua kata bisa kita ucapkan di depan publik. Seperti juga kata "kafir". Nggak sopan kalau kita terang-terangan di medsos atau di depan umum menyebut orang Non Muslim dengan sebutan kafir.

Maksudnya NU melarang menggunakan istilah kafir buat non muslim itu agar kita tepo seliro. Kata "kafir" itu menyinggung perasaan. Nggak masalah bila menggunakan kata "kafir" di acara intern umat Islam.  Jadi monggo saja cangkemu muni kofar kafir kalau itu di acara pengajianmu.

Semua agama punya sebutan khusus buat pemeluk di luar agamanya. Dan itu jangan sampai diucapkan di depan publik. Lonte pun akan tersinggung kalau dipanggil lonte. Jangankan dengan Non Muslim, antar sesama Muslim pun (beda madzhab) sebenarnya nggak sopan kalau terang-terangan.

Aku pernah lihat pidio yang dibuat oleh Muslim Konservatif yang intinya melarang (bid'ah) salaman setelah shalat. Di pidio tersebut digambarkan seseorang yang setelah shalat jamaah meminta salaman pada jamaah di kanan, kiri dan belakangnya. Wajahnya terlihat pekok banget. Dan yang diajak salaman juga terganggu.

Aku nggak setuju dengan pidio semacam itu. Monggo saja kalau di keyakinanmu salaman itu bid'ah. Tapi membuat pidio seperti itu cuman merusak persaudaraan antar umat Muslim. Nuansa ejekan pada umat yang suka salaman setelah shalat sangat terasa di pidio tadi.

Salaman itu budaya atau kearifan lokal. Bukan akidah dan nggak ada tuntunannya, tapi juga nggak ada larangannya. Itu nggak masalah. lha wong dilakukan setelah shalat, nggak dilakukan di tengah-tengah shalat.

Ada banyak makna yang tersirat (yang tak terucap) di dalam salaman : "Selamat hari ini kita masih punya iman sehingga bisa shalat berjamaah", "Selamat kita diberi kesehatan sehingga kita bisa melakukan ibadah Shalat jamaah", dan banyak lagi...uakeh lah.

Jadi silakan saja setelah shalat kamu salaman, push up, koprol, gulung-gulung. Bebas, mau salaman monggo, nggak salaman juga ora popo. ---Ini sudah aku tulis di cerpenku "Mencari April" di Kompasiana kemarin. Asline  "Mencari April" itu bukan Cerpen, tapi opini yang dibungkus fiksi. Rugi nek gak moco (promosi)---

Ya'opo se arek-arek iku, kearifan lokal bangsanya sendiri ditertawakan. Padahal orang Arab itu kagum dengan kearifan lokal bangsa Nusantara. Beda ras, suku, agama, tapi bisa guyub rukun. Wong Arab iku akeh podoe, raine mirip, tapi gampang perang. Asline BUDAYA Islam yang terbaik itu di Nusantara Ndes. Secara sosial dan budaya di sini jauh lebih bagus dari Arab. Di sana nggak ada Halal bi Halal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun