Mohon tunggu...
rn hidaynt
rn hidaynt Mohon Tunggu... mahasiswa

hobi olahraga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengalaman ganda Ketika dua dunia bertemu

22 September 2025   18:21 Diperbarui: 22 September 2025   18:21 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
aktivitas dzikir pagi santri Pon-Pes Al Amien Ngasinan Kediri

Pada saat saya hidup di pondok pesantren, segala aktivitas berjalan dalam aturan yang ketat dan terstruktur. Setiap hari dimulai sejak subuh, penuh dengan jadwal mengaji, belajar kitab, serta kegiatan ibadah yang harus ditaati bersama. Bahkan dalam hal berpakaian, berbicara, hingga cara bergaul, semuanya diatur agar sesuai dengan nilai-nilai agama yang berlaku di pondok. Kehidupan di sana membuat saya terbiasa dengan disiplin tinggi, kesederhanaan, dan lingkungan yang seragam(homogen), di mana semua orang memiliki tujuan dan pola hidup yang hampir sama. Namun, setelah saya keluar dari pondok dan kembali ke masyarakat umum, saya merasakan perbedaan yang cukup besar. Kehidupan di luar pondok terasa jauh lebih bebas orang-orang lebih bervariasi dalam perilaku, cara berpakaian, bahkan dalam memandang nilai-nilai agama. Awalnya saya merasa bingung dan canggung, karena nilai-nilai ketat yang sudah melekat dalam diri saya seringkali berbeda dengan kebiasaan orang-orang di luar. Saya merasa harus menyesuaikan diri agar bisa diterima tanpa harus kehilangan identitas saya sebagai santri. Dalam situasi ini, saya sering merasa seolah berada di dua dunia yang berbeda antara dunia pondok dengan nilai religiusnya yang kental dan dunia masyarakat umum yang lebih longgar serta beragam. Bagi saya, pengalaman ini merupakan contoh nyata dari teori double consciousness W.E.B. Du Bois, karena saya hidup dengan dua kesadaran sekaligus, kesadaran sebagai alumni santri yang membawa nilai-nilai pondok, dan kesadaran sebagai anggota masyarakat umum yang dituntut untuk beradaptasi dengan realitas sosial yang lebih luas.

Teori double consciousness dari karya Du Bois dalam bukunya The Souls of Black Folk (1903). Teori ini menjelaskan bahwa orang kulit hitam di Amerika memiliki pengalaman kesadaran ganda, yaitu perasaan memiliki dua identitas yang saling bertentangan sebagai orang kulit hitam dan sebagai warga Amerika. Dalam The Souls of Black Folk, ia menggambarkan apa yang disebutnya "kesadaran ganda" orang Afrika-Amerika: "One ever feels his two-ness,an American, a Negro; two souls, two thoughts, two unreconciled strivings; two warring ideals in one dark body, whose dogged strength alone keeps it from being torn asunder" (Du Bois, 1903). Artinya, seseorang akan selalu merasakan kedwiartiannya, seorang Amerika dan seorang Negro, dua jiwa, dua pikiran, dua aspirasi yang tak terdamaikan; dua cita-cita yang saling bertentangan dalam satu tubuh yang gelap, yang kekuatanya sendiri menjaganya agar tidak terkoyak. The Souls of Black Folk menjadi salah satu karya paling provokatif dan berpengaruh dalam sastra dan pemikiran Afrika-Amerika abad ke-20. Dalam pemahaman saya, konsep ini tidak hanya berlaku di Amerika, tetapi juga dalam konteks lain seperti Indonesia, di mana seseorang bisa mengalami dilema identitas antara nilai tradisional dan nilai modern. Teori ini membantu saya memahami bahwa apa yang saya alami ketika berpindah dari kehidupan pondok ke masyarakat umum adalah bagian dari dinamika sosial yang lebih luas.

Teori double consciousness diperkenalkan oleh William Edward Burghardt Du Bois, atau W.E.B. Du Bois (1868–1963). Ia lahir di Great Barrington, Massachusetts, Amerika Serikat, dalam keluarga kulit hitam bebas pada masa di mana diskriminasi rasial masih sangat kuat. Du Bois menjadi orang kulit hitam pertama yang meraih gelar doktor dari Harvard University, kemudian melanjutkan studi di Universitas Berlin, dan akhirnya menyelesaikan gelar Ph.D. di Harvard dengan disertasi tentang perdagangan budak trans-Atlantik. Selama di Eropa, terutama Jerman, ia terpengaruh oleh tradisi intelektual dan pemikiran kritis para ilmuwan seperti Max Weber, yang membentuk cara pandangnya tentang ras, kelas, dan masyarakat.

Du Bois, W. E. B. (1903). The souls of Black folk. Chicago, IL: A. C. McClurg & Co.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun