Mohon tunggu...
rizky setiawan
rizky setiawan Mohon Tunggu... mahasiswa

seorang mahasiswa ilmu komunikasi di unisri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Zonasi Belum Tentu Solusi

2 Juli 2025   12:30 Diperbarui: 2 Juli 2025   12:28 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

ZONASI BELUM TENTU SOLUSI
 
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hak tiap individu di Indonesia yang tertuang pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 31. Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Kemudian hak untuk mendapatkan pendidikan tersebut dijelaskan dalam Pasal 31 ayat 2 yang berbunyi "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai" dan pada ayat 3 yang berbunyi "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang" (Meritasari dkk, 2024).
Karena undang-undang tersebut, pemerintah mengupayakan pendidikan dengan berbagai macam cara. Salah satu yang diusahakan oleh pemerintah yakni pemerataan pendidikan, mengingat adanya ketimpangan penyediaan jasa pendidikan di Indonesia dan terdapat anak-anak yang tidak bersekolah. Masalah ekonomi juga jadi faktor yang memunculkan ketimpangan pendidikan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah mengupayakan untuk mengurangi ketimpangan pendidikan dengan program zonasi (Safarah dan Wibowo, 2018).
Program zonasi adalah inisiatif pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan serta mewujudkan pemerataan akses pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Melalui program ini, siswa diberikan hak yang sama untuk mengenyam pendidikan tanpa adanya diskriminasi berdasarkan lokasi atau status sosial. Setiap siswa berhak memperoleh kesempatan bersekolah di lingkungan tempat tinggalnya. Mengacu pada Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018, sekolah negeri diwajibkan menerima setidaknya 90% peserta didik dari wilayah terdekat berdasarkan jarak domisili ke sekolah (Widyastuti, 2020).
Kebijakan zonasi yang dicanangkan oleh pemerintah pada awalnya dimaksudkan untuk mengatasi ketidakmerataan akses pendidikan serta meredam anggapan adanya "sekolah favorit" yang selama ini menimbulkan kesenjangan. Pada dasarnya, sistem ini mengatur agar siswa bersekolah di institusi pendidikan yang berada dekat dengan domisili mereka. Dengan demikian, setiap siswa memiliki peluang yang setara untuk memperoleh pendidikan tanpa harus berkompetisi dengan calon peserta didik dari luar wilayahnya. Kebijakan ini juga bertujuan untuk mengikis permasalahan yang timbul akibat pandangan bahwa sekolah unggulan memiliki kualitas lebih tinggi dibanding sekolah lain yang kurang diminati (Widyastuti, 2020).
Dalam implementasinya, pelaksanaan kebijakan zonasi masih menghadapi berbagai kendala dan belum sepenuhnya berjalan secara adil, terutama bagi sekolah-sekolah yang tidak memiliki predikat sebagai sekolah favorit atau unggulan. Contohnya dapat dilihat di SMPN 3 Mataram, di mana kebijakan ini menyebabkan penurunan jumlah pendaftar. Hal ini disebabkan oleh sistem penentuan zona yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga membatasi pilihan siswa untuk mendaftar di sekolah di luar wilayah zonanya. Akibatnya, siswa yang berdomisili dalam suatu zona secara otomatis terdaftar di sekolah yang berada di wilayah tersebut, meskipun mungkin mereka memiliki preferensi untuk melanjutkan pendidikan di sekolah lain yang berada di luar zona tempat tinggalnya (Pertiwi dkk, 2024).
Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan, penulis menemukan bahwa terdapat masalah dari pelaksanaan sistem zonasi. Apakah relevan bagi pemerintah untuk tetap melanjutkan sistem zonasi di bidang pendidikan? Sehingga penulis tertarik untuk membahas mengenai sistem zonasi di bidang pendidikan sudah mencapai tujuan atau belum, tetap relevan atau tidak bagi masyarakat Indonesia atau justru tidak perlu dilanjutkan programnya.
 
PEMBAHASAN
Sistem zonasi pada implementasinya menghasilkan dampak baik positif dan negatif. Tujuan awal dari sistem zonasi yakni pemerataan pendidikan yang mana dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor penawaran dan faktor permintaan. Penawaran berada di tangan pemerintah sebagai otoritas publik yang menyediakan pendidikan. Sementara permintaan datang dari masyarakat yang merupakan pengguna layanan pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai pemerataan pendidikan diperlukan keseimbangan antara penawaran dan  permintaan (Cummings, 2008).
Pemerintah pusat telah mengumumkan pembaruan regulasi terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi, yang awalnya tertuang dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, kemudian disempurnakan melalui Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Peraturan ini mencakup ketentuan PPDB untuk jenjang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, hingga Sekolah Menengah Kejuruan. Namun, perlu menjadi catatan penting bahwa situasi berubah seiring munculnya pandemi Covid-19. Menanggapi kondisi darurat tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Nomor 4 Tahun 2020 yang mengatur pelaksanaan kebijakan pendidikan selama masa darurat penyebaran Covid-19 (Werdiningsih, 2020).
Selanjutnya, ketentuan mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) diatur lebih lanjut dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021, yang mencakup pelaksanaan PPDB untuk jenjang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Untuk memperjelas implementasi peraturan tersebut, diterbitkan pula Keputusan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ristek Nomor 41/M/2023 yang berisi Pedoman Pelaksanaan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Dalam pedoman tersebut, jalur pendaftaran PPDB Tahun Ajaran 2024/2025 dibagi menjadi empat kategori utama, yaitu: 1) jalur zonasi, 2) jalur afirmasi, 3) jalur perpindahan tugas orang tua atau wali, dan 4) jalur prestasi, sebagaimana dijelaskan dalam Petunjuk Teknis (Juknis) PPDB Jawa Timur Tahun Ajaran 2024/2025.
Koordinasi pelaksanaan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dimulai dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui penerbitan Peraturan Gubernur (PerGub) No. 15 Tahun 2022. Kebijakan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kota Blitar yang menunjukkan antusiasme tinggi dalam implementasinya, sejalan dengan visi misi peningkatan kualitas pendidikan di daerah tersebut. Pemerintah Kota Blitar mengeluarkan Peraturan Walikota No. 3 Tahun 2022 sebagai perubahan dari Peraturan No. 8 Tahun 2021 tentang pelaksanaan PPDB untuk TK, SD, dan SMP Negeri. Sistem zonasi untuk PPDB SMP di Kota Blitar dibagi menjadi 3 zona berdasarkan kecamatan. Sosialisasi PPDB dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Blitar kepada wali murid di setiap SD. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang baik mengenai aturan dan tata cara pendaftaran PPDB online serta meminimalisir kegagalan dalam proses pendaftaran (Werdiningsih, 2020).
Setelah mengkomunikasikan dan mengimplementasikan sistem zonasi, pada penelitian yang dilakukan Meritasari dkk (2024) Kota Blitar belum berhasil karena walaupun sudah diberlakukan sistem zonasi menggunakan daerah tempat tinggal, namun kualitas pendidikan yang mencakup kemampuan mengajar guru, fasilitas sekolah, dan lingkungan belajar masih mengalami kesenjangan. Salah satu bukti nyata dari dampak kebijakan zonasi terlihat pada pengalaman seorang peserta didik yang berdomisili di Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan, dan harus bersekolah di SMPN 6 Kota Blitar sesuai ketentuan wilayah zonasi. Selama mengikuti proses pembelajaran, siswa tersebut merasa materi yang disampaikan kurang sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Akibatnya, ia harus berusaha menyesuaikan diri dengan tingkat pemahaman teman-teman sekelasnya, yang pada akhirnya menurunkan semangat belajarnya dan membuatnya menjadi kurang termotivasi untuk mengikuti pelajaran.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Purnomo (2019) menyebutkan bahwa ada seorang anak yang sekolah di salah satu SD favorit di Pekalongan. Ia hendak mendaftar di SMP yang selama ini menjadi impian sang anak akhirnya tidak dapat dimasuki karena jarak antara rumah dan sekolah tidak memenuhi ketentuan dalam sistem zonasi. Akibatnya, siswa tersebut gagal diterima di sekolah yang diinginkannya. Rasa kecewa yang mendalam membuatnya kehilangan motivasi dan bahkan nekat membakar seluruh piagam penghargaan yang telah ia kumpulkan selama ini. Kejadian ini menimbulkan reaksi negatif di tengah masyarakat, yang menilai bahwa kebijakan zonasi justru menambah beban dan kesulitan bagi warga, alih-alih memberikan kemudahan atau keadilan dalam akses pendidikan.
Penerapan sistem zonasi di sisi lain menimbulkan dampak sosial berupa terbentuknya kelompok-kelompok siswa yang terbatas pada lingkungan tempat tinggal masing-masing. Kondisi ini memicu anggapan bahwa kebijakan zonasi justru mengikis semangat kebhinekaan. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa komposisi peserta didik di sekolah menjadi homogen, karena mayoritas berasal dari area sekitar sekolah saja. Sistem semacam ini dinilai tidak sejalan dengan prinsip multikulturalisme atau kebhinekaan yang selama ini dikedepankan oleh pemerintah dan telah diintegrasikan dalam dunia pendidikan (Pradewi dan Rukiyati, 2019).
Tingkat efektivitas pelaksanaan PPDB sistem zonasi jenjang SMP dievaluasi menggunakan tiga indikator efektivitas dari Duncan dalam Rizal (2020), yaitu: 1) pencapaian tujuan, 2) integrasi, dan 3) adaptasi. Dari segi pencapaian tujuan, pemerataan kualitas pendidikan SMP di Kota Blitar masih belum optimal, karena peserta didik berprestasi masih terpusat di SMPN 1 Blitar yang dikenal sebagai "sekolah favorit. Dukungan sarana dan prasarana, seperti pengadaan komputer baru untuk menunjang pelaksanaan PPDB berbasis zonasi, belum dapat dipenuhi karena keterbatasan anggaran (Meritasari dkk, 2024).
Dengan dampak negatif saat implementasinya, sistem zonasi juga masih memiliki dampak positif. Dampak positif dari adanya sistem zonasi yakni menguntungkan siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah, hal ini akan berdampak positif terhadap biaya yang lebih murah dan waktu yang ditempuh siswa lebih singkat untuk berangkat dan pulang sekolah. Kemudian akses pendidikan yang mudah membuat dana yang ada di pemerintah dapat dialokasikan lebih pada penyediaan fasilitas dan kebutuhan sekolah lainnya. Diskriminasi sekolah berdasarkan favorit atau unggulannya juga semakin berkurang karena anak-anak yang ada di tiap sekolah beragam kemampuannya (Widyastuti, 2020).
Dari dampak yang dirasakan tersebut, penulis menilai bahwa saat ini lebih banyak dampak negatif yang dirasakan masyarakat daripada dampak positifnya. Terbukti dari efektivitas yang belum mumpuni, implementasi yang tidak dibarengi dengan pemerataan fasilitas sarana prasarana pendidikan sehingga mendapat banyak penolakan. Penulis menilai bahwa sistem zonasi belum mampu menjadi solusi untuk pemerataan pendidikan sebelum dilakukannya pemerataan kemampuan guru, fasilitas dan sarana prasarana sekolah sudah tercapai dengan maksimal. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Liu (2017) yang menyebutkan baik jumlah dana maupun jumlah guru memang menyebabkan banyak ketidaksetaraan di sekolah yang berbeda. Artinya, keberadaan sarana prasarana sekolah memiliki kontribusi terhadap pemerataan kualitas sekolah.
Kesenjangan pendidikan tidak akan hilang jika hanya memberlakukan sistem zonasi berdasarkan wilayah. Solusi dari permasalahan ini harus dilakukan dari akar yang paling dasar, yakni internal sekolah yang perlu diperbaiki secara massif. Hal ini tentu saja lebih rumit untuk dilakukan, sehingga pemerintah terkesan mengambil "jalan aman" dengan pemberlakuan sistem zonasi ini. Reformasi pendidikan besar-besaran harus dilakukan, namun sistem zonasi belum bisa menjadi solusi yang sesuai (Tilaar, 2003).

KESIMPULAN
Sistem zonasi pada implementasinya menghasilkan dampak baik positif dan negatif. Di Kota Blitar sistem zonasi belum berhasil karena walaupun sudah diberlakukan sistem zonasi menggunakan daerah tempat tinggal, namun kualitas pendidikan yang mencakup kemampuan mengajar guru, fasilitas sekolah, dan lingkungan belajar masih mengalami kesenjangan. Pemberlakuan sistem zonasi di sisi lain membuat masyarakat menjadi terkelompok dalam lingkungannya masing-masing. Hal inilah yang membuat zonasi dipandang merusak kebhinekaan.
Dengan dampak negatif saat implementasinya, sistem zonasi juga masih memiliki dampak positif. Dampak positif dari adanya sistem zonasi yakni menguntungkan siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah, hal ini akan berdampak positif terhadap biaya yang lebih murah dan waktu yang ditempuh siswa lebih singkat untuk berangkat dan pulang sekolah. Dari dampak yang dirasakan tersebut, penulis menilai bahwa saat ini lebih banyak dampak negatif yang dirasakan masyarakat daripada dampak positifnya.
Kesenjangan pendidikan tidak akan hilang jika hanya memberlakukan sistem zonasi berdasarkan wilayah. Solusi dari permasalahan ini harus dilakukan dari akar yang paling dasar, yakni internal sekolah yang perlu diperbaiki secara massif. Reformasi pendidikan besar-besaran harus dilakukan, namun sistem zonasi belum bisa menjadi solusi yang sesuai. Pemerintah perlu mengkaji ulang mengenai pendidikan yang sesuai bagi masyarakat Indonesia dengan melepaskan diri dari belenggu politik, seperti pergantian kurikulum setiap kali pergantian presiden.
 
SARAN
Pemerintah dapat bekerjasama dengan peneliti yang ada di berbagai perguruan tinggi untuk mendapatkan analisis permasalahan dan solusi yang sesuai. Melepaskan diri dari belenggu politik kotor juga sangat penting agar reformasi kebijakan dalam dunia pendidikan dapat dilakukan dengan maksimal dan keberlanjutan. Dengan begitu, kebijakan yang disosialisasikan dengan masyarakat merupakan solusi final yang minim penolakan dan dapat dievaluasi berkala bersama masyarakat.
 
DAFTAR PUSTAKA
Cummings, W. K. (2008). Policy Options For Access and Equity in Basic Education. Dalam William K. Cummings & James H. Williams  (Eds). Policy-Making For Education Reform In Developing Countries : Policy, Options, And Strategy. USA: Rowman & Littlefield Education.
H.A.R Tilaar, (2003). Kekuasaan Dan Pendidikan, Manajemen Pendidikan Nasional Dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Meritasari, D. P. R., Dhulhijjahyani, F., Rahman, A., & Untari, S. (2024). Analisis Implementasi dan Kualitas Pendidikan pada Kebijakan Zonasi di Kota Blitar. Journal of Education Research, 5(2), 2129-2137.
Liu, Y. 2017. The Equality of Distribution of Education Resources---The Case Of 96 Universities in The US. Open Journal Of Social Sciences, 5(1), 180-190.
Pertiwi, P., Wastinaya, A., Hafiz, L. A., Muliani, B. Y., & Wahyuni, N. (2024). Dampak Kebijakan Zonasi Terhadap Kualitas Pendidikan Menengah Pertama: Studi Kasus di SMPN 3 Mataram. Jurnal Lingkar Pembelajaran Inovatif, 5(12).
Pradewi, G. I., & Rukiyati, R. (2019). Kebijakan sistem zonasi dalam perspektif pendidikan. JMSP (Jurnal Manajemen dan Supervisi Pendidikan), 4(1), 28-34.
Purnomo, I. D. (2019). Dampak Sistem Zonasi, Pelajar Ini Tak Diterima di SMP Favorit, 15 Piagam Dibakar -Halaman 3 -Tribun Manado. https://manado.tribunnews.com/2019/06/27/dampak-sistem-zonasi-pelajar-ini-tak-diterima-di-smp-favorit-15-piagam-dibakar?page=3
Rizal,  S.,  Usman,  T.,  Azhar,  A.,  &  Puspita,  Y.  (2020).  Peningkatan  kualitas  pendidikan  melalui  sistem penjaminan mutu. Didaktika: Jurnal Kependidikan, 9(4), 469-475.
Safarah, A. A., & Wibowo, U. B. (2018). Program zonasi di sekolah dasar sebagai upaya pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 21(2), 206-213.
Werdiningsih, R. (2020). Kebijakan Sistem Zonasi Dalam Perspektif Masyarakat Pendidikan. Public Service and Governance Journal, 1(02), 181-199.
Widyastuti, R. T. (2020). Dampak pemberlakuan sistem zonasi terhadap mutu sekolah dan peserta didik. Edusaintek: Jurnal Pendidikan, Sains Dan Teknologi, 7(1), 11-19.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun