"Ketika Negara Sigap Soal Rekening dan Tanah, Tapi Lalai Mendengar Harapan Rakyat"
Tiga bulan rekening tak bergerak, langsung diblokir. Dua tahun tanah tak tergarap, bisa disita. Tetapi tiga tahun menganggur, negara masih diam. Ironis, namun nyata. Di tengah semangat penertiban dan pengawasan aset yang digadang-gadang demi keamanan dan tertib administrasi, pertanyaan yang lebih dalam muncul apa sebenarnya yang ditakuti negara?
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini menyampaikan bahwa mereka akan memblokir rekening yang tidak aktif selama tiga bulan, dengan alasan pencegahan pencucian uang. Namun kebijakan ini memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang menilai langkah tersebut tidak bijak. "Tidak semua rekening pasif itu mencurigakan. Bisa jadi itu tabungan yang sengaja disimpan. Jangan disamaratakan," kata perwakilan YLKI.
Faktanya, tidak semua orang memiliki privilege untuk aktif bertransaksi setiap minggu. Banyak masyarakat kecil yang hanya bisa mengisi ulang rekeningnya saat menerima Tunjangan Hari Raya (THR) atau bantuan sosial. Apakah negara peka terhadap kondisi semacam ini? Masalah serupa terjadi pada isu pertanahan. Pemerintah mewacanakan pengambilalihan tanah yang tak tergarap selama dua tahun. Sayangnya, banyak rakyat yang tidak bisa mengelola tanah bukan karena malas, tetapi karena tidak mampu. Uang mereka habis untuk kebutuhan pokok seperti makan, listrik, biaya sekolah anak, hingga harga kebutuhan pokok yang naik perlahan namun pasti.
Pertanyaannya, apakah negara akan membantu rakyat yang tidak mampu mengelola tanahnya? Membangunkan rumah di atas lahan tidur rakyat, misalnya? Jawabannya sering kali "itu bukan urusan kami."Di balik langkah cepat terhadap rekening kosong dan tanah tak tergarap, negara tampak lamban dalam merespons harapan yang hilang di kalangan rakyat. Harapan untuk hidup layak, harapan untuk didengar, harapan agar tidak terus-menerus dianggap beban hanya karena tidak mampu. Jika negara bisa begitu sigap terhadap data, sistem, dan aset, maka seharusnya bisa lebih sigap lagi dalam mendengarkan suara warganya. Karena ketika harapan rakyat yang hilang tak lagi jadi perhatian, maka itulah kerusakan yang paling sulit dipulihkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI