Mengapa sebuah film yang mengajak berpikir kritis, justru dituding menyesatkan? Mungkinkah karena terlalu jujur dalam menyuarakan kenyataan yang selama ini enggan dibahas secara terbuka?
Baru-baru ini, film Walid yang tayang di Malaysia menuai kontroversi dan kritik tajam, termasuk dari salah satu kelompok keagamaan di Aceh, yaitu Laskar Aswaja. Pembina kelompok tersebut menyatakan bahwa film ini "menyesatkan, mencemarkan Islam, bahkan bisa menjadi alat serangan terhadap ulama." Namun, benarkah demikian?
Jika ditonton secara utuh dan obyektif, film Walid justru tidak sedang menyerang Islam sebagai ajaran, melainkan mengangkat fenomena sosial yang nyata yaitu penyalahgunaan agama oleh oknum tertentu demi kepentingan pribadi. Sebuah kenyataan yang tidak lagi asing di masyarakat, hanya saja kali ini disajikan dalam bentuk sinematik yang jujur, tajam, dan sarat kritik sosial. Kita perlu membedakan antara kritik terhadap perilaku individu dan serangan terhadap agama. Film ini mengambil pendekatan satir dan edukatif, memperlihatkan bagaimana agama bisa disalahgunakan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau pengaruh, namun tetap mengaku sebagai pembawa kebenaran. Ini bukanlah bentuk penyesatan, melainkan cermin bagi masyarakat, terutama generasi muda, agar tidak menerima mentah-mentah setiap narasi yang dibalut dengan simbol keagamaan.
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari Lembaga Sensor Film Malaysia yang menyebut bahwa Walid menyimpang dari syariat. Oleh karena itu, tuduhan sesat yang dialamatkan pada film ini masih sebatas opini dari sekelompok pihak, bukan suatu kebenaran final yang telah diuji secara formal maupun akademik. Menariknya, pihak-pihak yang paling lantang menolak film ini justru bisa jadi adalah mereka yang merasa tersindir dengan narasi yang diangkat. Padahal, jika benar niatnya adalah berdakwah, seharusnya kritik tak menjadi ancaman. Kebenaran tak akan tergoyahkan hanya oleh sebuah film, apalagi jika film tersebut justru membuka ruang dialog dan refleksi.
Film Walid sepatutnya dilihat sebagai bahan edukasi. Ia mengajak kita untuk lebih bijak dan kritis dalam memahami ajaran agama, serta lebih selektif dalam menerima otoritas tokoh. Bukan untuk membenci, tetapi untuk membangun pemahaman yang lebih sehat dan utuh. Kritik terhadap karya seni adalah hal yang wajar, tetapi menyematkan label "sesat" tanpa landasan yang kokoh justru bisa mencerminkan ketakutan terhadap keterbukaan. Di tengah arus informasi yang begitu deras, generasi muda berhak mendapatkan ruang untuk belajar, bertanya, dan menimbang. Bukan dengan dicekoki dogma semata, melainkan dengan berpikir jernih, kritis, dan penuh cinta terhadap nilai-nilai agama yang sesungguhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI