Mohon tunggu...
Rizky Pratama
Rizky Pratama Mohon Tunggu... Penulis - The Calm Man

Knowledge is Everything

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perbedaan Beberapa Pasal Dalam Perpu Cipta Kerja dengan UU Cipta Kerja (Part 1)

14 Januari 2023   07:30 Diperbarui: 14 Januari 2023   07:32 4797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada akhir tahun 2022, Pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker). Hal ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, sebab kebijakan tersebut dinilai tidak mengindahkan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dalam amarnya menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) terbukti cacat formil dalam pembentukannya sehingga harus dilakukan perbaikan dengan jangka waktu 2 tahun sejak putusan tersebut dan apabila tidak dilakukan perbaikan maka tidak dapat diberlakukan. (Lebih lanjut lihat artikel kami berjudul Mendekati Batas Waktu Inkonstitusional Bersyarat UU Cipta Kerja, Terbitlah Perpu Cipta Kerja)

Dikeluarkannya Perppu 2/2022 bukan merupakan langkah yang tepat, karena secara substansi dan pembuatannya tidak jauh berbeda dengan UU Ciptaker itu sendiri. Dilihat dari segi metode pembuatannya, UU Ciptaker dan Perppu Ciptaker menggunakan konsep omnibus law. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP beserta perubahannya) memberikan jalan bagi metode omnibus law untuk dapat dijadikan suatu metode dalam pembentukan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 Ayat (1a) dan (1b) UU PPP. Oleh karena itu, dilihat dari substansi pengaturannya tidak jauh berbeda antara Perppu Ciptaker dengan UU Ciptaker.

Namun, terdapat beberapa perbedaan antara pasal-pasal yang diatur dalam Perppu Ciptaker dann UU Ciptaker, sebagai berikut:

  • Terdapat perbedaan yang sigifikan terkait pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam Perppu Ciptaker yaitu terdapat pengaturan mengenai Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dan Perizinan Berusaha dalam Pasal 18 Angka 11 Perppu Ciptaker, sedangkan dalam UU Ciptaker, hal ini tidak diatur. Pengaturan frasa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut tidak diatur secara eksplisit dalam Perppu Ciptaker, namun dapat dimaknai hal ini merupakan kewenangan pemerintah pusat. Ini juga menunjukkan bahwa bukan hanya perizinan berusaha yang dibutuhkan dalam pengelolaan wilayah pesisir atau pulau-pulau kecil, melainkan harus mendapatkan kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dari pemerintah pusat. Apabila keduanya tidak dimiliki oleh penyelenggara maka dapat dikenakan sanksi administratf. Hal ini juga menandakan pemerintah dapat lebih leluasa untuk melakukan penilaian terhadap kondisi wilayah pesisir maupun pulau-pulau kecil dalam hal memberikan izin bagi pengelola.
  • Kedua, terdapat perbedaan pengaturan mengenai kelautan dalam Perppu Ciptaker, yaitu terdapat frasa "kesesuaian kegiatan" yang diatur Pasal 19 Angka 9 Perppu Ciptaker. Sebelumnya dalam UU Ciptaker, Pasal 19 Angka 9 ini hanya mengisyaratkan adanya perizinan berusaha dalam pemanfaatan ruang laut secara menetap sedangkan dalam Perppu Ciptaker, perizinan berusaha tersebut diubah menjadi kesesuaian kegiatan. Lagi-lagi hal ini menunjukkan bahwa pemerintah akan lebih memudahkan masuknya pengelola atau investor dalam memanfaatkan ruang-ruang laut. Meskipun secara pengaturan kesesuaia kegiatan ini belum diatur secara signifikan, tetapi frasa kalimat tersebut sudah menunjukkan adanya kepentingan terselubung.
  • Ketiga, terdapat perbedaan pengaturan mengenai kelautan dan perikanan khusunya terkait dengan Pemerintah Pusat dalam menetapkan potensi dan alokasi sumber daya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Dalam UU Ciptaker hal tersebut diatur dalam Pasal 27 Angka 2 UU Ciptaker, namun dalam Perppu Ciptaker pengaturan ini ditiadakan. Dengan tidak diaturnya hal tersebut, pelaku usaha yang menjalankan bisnis sektor perikanan akan lebih mudah mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya terlebih didukung dengan perizinan berusaha.
  • Keempat, terdapat perbedaan pengaturan tentang perkebunan dalam UU Ciptaker dengan Perppu Ciptaker mengenai Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota yang menerbitkan izin yang tidak sesuai peruntukkan dan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam UU Ciptaker, hal ini tidak diubah atau dihapus tetapi dalam Perppu Ciptaker ketentuan terkait hal ini dihapus sebagaimana dalam Pasal 29 Angka 33 Perppu Ciptaker. Apabila melihat ketentuan dalam Undang-Undang diatur dalam Pasal 106 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, dimaksudkan untuk mencegah bagi pejabat pemerintahan agar tidak menyalahgunakan jabatannya dalam mengeluarkan perizinan. Sehingga apabila hal ini dihapus, dapat diduga penerbitan izin yang tidak sesuai dengan syarat dan peruntukannya akan sering terjadi kedepannya.
  • Selanjutnya terdapat perbedaan pengaturan ketentuan pidana korporasi terhadap perkebunan dalam UU Ciptaker dengan Perppu Ciptaker. Dalam UU Ciptaker terdapat pengaturan yang memaksa Korporasi apabila tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda sedangkan dalam Perppu Ciptaker hal ini tidak diatur.

Dari uraian poin-poin yang telah dijelaskan di atas, menunjukkan adanya beberapa perubahan yang siginifikan dan tentunya memiliki dampak terhadap beberapa aspek yang kaitannya dengan perkembangan masyarakat kedepannya. Dari poin-poin tersebut dapat dilihat arah dan maksud dari tujuan yang terdapat dalam Perppu Ciptaker itu sendiri. Perizinan merupakan salah satu aspek yang fundamental dalam muatan materi Perppu Ciptaker. Hal ini dikarenakan seringkali Pelaku Usaha besar atau investor terhambat dalam menjalankan usahanya di Indonesia baik dari hambatan administrasi publik maupun hambatan (penolakan) dari masyarakat.

Merujuk pendapat Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti yang menyatakan bahwa penyusunan suatu Perppu, ruang yang diberikan oleh para pembangun konstruksi hukum secara filosofis itu harus berlandaskan pada situasi yang memang kecenderungannya darurat. Sebab, Perppu adalah sebuah fasilitas yang tidak demokratis walaupun terkadang diperlukan. Seharusnya, pembuatan Perppu pun harus dijauhi dalam kondisi yang normal. Tapi dalam praktiknya, pemerintah bisa mengeluarkan Perppu tanpa adanya pengawasan dari mana pun dan langsung efektif berlaku. Baru kemudian di masa sidang berikutnya DPR membahasnya untuk disetujui atau tidak.

 

Artinya, penyusunan suatu Perppu Cipta Kerja sebenarnya tidaklah dibutuhkan dan seharusnya pemerintah menyelesaikan perbaikan UU Ciptaker terlebih dahulu sebagaimana amanat yang telah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 91/PUU-XVIII/2020. Apalagi muatan yang diatur tidaklah jauh berbeda dengan UU Ciptaker, melainkan muatan materi Perppu Ciptaker terlihat lebih memudahkan pengurusan perizinan terhadap pihak tertentu.

 

Selain poin-poin yang telah diuraikan di atas, merupakan salah lima dari sekian banyak perbedaan yang tentunya tidak semuanya dapat diuraikan secara rinci dalam artikel ini. Namun, beberapa poin di atas dapat menunjukkan arah dan tujuan dari muatan nateri tersebut untuk kepentingan pelaku usaha. Dengan demikian, pada praktiknya tentu akan menimbulkan berbagai polemik khususnya terhadap masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun