Mohon tunggu...
Rizky F Chaniago
Rizky F Chaniago Mohon Tunggu... -

Tak akan lelah berpikir, tak akan lelah menulis dan tak akan lelah berbicara.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Misteri Tragedi Cebongan

26 Maret 2013   06:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:12 3462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1364255048896849507

Lapangan Mabes Polri

Gaung tragedi Cebongan yang terjadi pada dini hari Sabtu 23/3 ternyata masih cukup menggema kencang. Berbeda dengan lain-lain insiden buru-buru redup dari pemberitaan media, lain halnya dengan “ eksekusi ala rambo di Lapas Cebongan “ yang merenggut nyawa Dicky Sahetapy bersama ke-3 temannya sesama perantau dari Kupang NTT. Hingga sudah lampau 2 (dua) hari masih banyak menyita kolom media, apalagi Kompasiana. Com, salah satu kaplingnya Kompas.Com. Pertanda insiden berdarah-darah ini cukup intens menyita atensi publik tanah air.

Tak salah memang, sebagaimana Menteri Hukum & HAM, Amir Syamsuddin sendiri pun mengakui peristiwa ini baru pertama kalinya dalam sejarah NKRI. Setidak-tidaknya maksud Mantan Advokat ini, sejak diproklamirkannya negara hukum RI pada hari Jumat 17 Agustus 1945 baru pertama kali terjadi ada orang atau orang-orang yang disangka melakukan tindak pidana sudah diamankan polisi bahkan di dalam ruang tahanan di sebuah Lembaga Pemasyarakatan ( Lapas ) yang selama ini dikenal ekstra ketat penjagaannya malah dengan enteng dieksekusi mati di tempat di mana mereka ditahan. Bahkan lebih bikin heboh lagi pembantaian brutal itu dilakukan eksekutornya di depan mata ke-31 tahanan lainnya yang sama-sama diinapkan pada 1 (satu) ruang sel. Naluri advokatnya tentu ikut berbisik, bahwa dalam perkembangan hukum dan peradilan yang sudah cukup bagus sekarang ini ada keniscayaan perbuatan yang disangkakan pada ke-4 almarhum tentu tidak akan ringan. Lagi pula tentu difahaminya benar, menurut azas praduga tak bersalah (presumption of innocence) tidak seorang pun dapat dianggap bersalah sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkrakcht van gewijsde), tetapi yang terjadi justru ‘eksekusi mati‘ dengan cara dibantai secara sadis, padahal proses hukumnya sendiri belum dimulai.

Apa boleh buat, ibarat nasi sudah menjadi bubur, diperdebatkan panjang-lebar pun tak kan mungkin mengembalikan ke-4 korban hidup kembali. Kaum kerabat para korban pun sudah ikhlas, bahkan konon kedatangan jenazahnya tiba di Kota Kupang bukan saja dijemput keluarga karibnya melainkan ribuan pelayat. Ada yang terang-terangan mengungkapkan duka-cita dan ratap tangis tetapi tak sedikit pula dari ribuan pelayat yang mengelu-elukan jasad-jasad kaku itu, ibarat pahlawan yang gugur di medan tempur.

Hanya di balik itu, diam-diam terasa masih ada onggokan pertanyaan yang mengganjal. Apalagi kalau bukan untaian misteri yang mengiringi peristiwa berdarah ini mulai penitipan di LP Cebongan oleh pihak Kepolisian sampai pada akhirnya mereka dibantai dengan cara tembak-mati di tempat.

Yang pasti sebelumnya telah diketahui kalau korban brutalisme ke-4 orang ini justru seorang Anggota TNI, dan pada kebanyakan kasus, sebagian personil TNI merasa berkebaratan menerima begitu saja kalau salah seorang rekannya dianiaya, apalagi sampai meninggal. Jangankan sejauh hingga orangnya meninggal, malah seringkali walau hanya sekedar dihina atau diperlakukan tak senonoh saja pun bisa-bisa menyulut aksi balas dendam yang justru melibatkan tak sedikit personil.

Nah. Benarkah penitipannya pada LP Cebongan itu semata-mata karena Ruang Tahanan Polda DIY sedang di renovasi ataukah ada latar kekhawatiran sehingga ke-4 tahanan itu dialihkan ke LP Cebongan guna menghindari aksi balas-dendam rekan-rekan korban yang bisa membawa akibat fatal seperti penyerangan salah satu Mapolres beberapa waktu lalu ? Kalau pun benar dalil renovasi ruang tahanan, mengapa penitipan ke-4 orang yang ditahan gara-gara melakukan penganiayaan yang menyebabkan tewasnya Anggota TNI (Kopassus ?) tidak didukung pengamanan cukup apalagi pada malam hari padahal setidak-tidaknya bisa diduga ada kemungkinan aksi balas-dendam teman-teman korban ? Tak mungkinkah karena Polri sendiri pun sudah bisa menduga kemungkinan-kemungkinan semacam ini ~ karena sering terjadi ~ sehingga Kapolda sama sekali menolak mengambil resiko walau dalam bentuk PAM Tertutup saja oleh personil-personil Direktorat Intel agar kalau memang terjadi dapat diminimalisier efeknya melalui isyarat-isyarat tertentu dan juga bisa mendapatkan identifikasi dini tentang para pelaku ?

Sekarang ke-4 orang yang disebut “ preman “ itu telah pergi menghadap Sang Khalik, dieksekusi secara begitu saja entah oleh siapa, tanpa suatu proses hukum sebagaimana lazimnya dalam suatu sangkaan tindak pidana. Namun rangkaian misteri ini niscaya masih akan lama melilit pikiran banyak orang, setidak-tidaknya selama pihak Kepolisian belum memberikan penjelasan yang bisa dirasakan sebagai jawaban paripurna.***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun