Mohon tunggu...
Rizky Faluza
Rizky Faluza Mohon Tunggu... Mahasiswa

mahasiswa jurusan Teknologi Pangan yang tertarik pada isu-isu seputar keamanan pangan, inovasi produk makanan, dan gaya hidup sehat berbasis sains

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Analisis Titik Kritis Kehalalan pada Produk Cultured Meat dalam Perspektif Teknologi Pangan Halal

4 Agustus 2025   21:08 Diperbarui: 4 Agustus 2025   21:08 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Inovasi dalam teknologi pangan telah mengalami perkembangan pesat di abad ke-21. Salah satu inovasi yang kini menjadi perhatian dunia adalah cultured meat, yaitu daging yang diperoleh dari hasil budidaya sel otot hewan di laboratorium tanpa perlu memotong hewan secara langsung. Konsep ini mulai dikenal luas sejak tahun 2013, ketika Mark Post dari Maastricht University memperkenalkan burger hasil kultur daging sapi pertama yang dikembangkan dengan biaya sekitar USD 330.000. Sejak saat itu, industri cultured meat mulai berkembang secara global dengan berbagai perusahaan rintisan dan lembaga penelitian yang berlomba mengembangkan daging berbasis sel yang aman, bergizi, dan terjangkau.

Media internasional seperti The Guardian, BBC, dan Washington Post secara konsisten meliput perkembangan teknologi ini, terutama dalam hal keberlanjutan lingkungan dan dampaknya terhadap industri peternakan konvensional. Menurut laporan Good Food Institute (2024), produksi cultured meat dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 92%, penggunaan lahan hingga 95%, dan penggunaan air hingga 78% dibandingkan daging tradisional. Selain itu, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan WHO menyatakan bahwa cultured meat berpotensi mengurangi risiko zoonosis, yaitu penyakit menular dari hewan ke manusia, seperti yang terlihat pada pandemi COVID-19.

Namun, meskipun menjanjikan dari sisi ilmiah dan keberlanjutan, cultured meat menghadapi tantangan serius dalam penerimaannya, terutama dari sisi sosial dan religius. Di antara konsumen Muslim, yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 1,9 miliar di dunia menurut Pew Research Center (2023), isu kehalalan menjadi pertimbangan utama. Di negara-negara dengan populasi Muslim signifikan seperti Indonesia, Malaysia, dan negara-negara Timur Tengah, status halal suatu produk bukan hanya soal kepercayaan, tapi juga merupakan regulasi wajib yang memengaruhi keputusan konsumsi.

Kehalalan dalam Islam tidak hanya mencakup jenis bahan baku, tetapi juga metode pengolahan, peralatan yang digunakan, dan kemungkinan adanya kontaminasi dari bahan haram. Hal ini menjadi kompleks ketika berbicara tentang cultured meat karena proses produksinya sangat berbeda dari daging konvensional. Penggunaan media pertumbuhan seperti Fetal Bovine Serum (FBS), scaffold dari gelatin, serta bahan tambahan seperti hormon dan faktor pertumbuhan, menimbulkan banyak pertanyaan dari perspektif fiqh dan ilmu halal.

Menurut laporan dari Reuters dan Al Jazeera, sejumlah ulama dan lembaga sertifikasi halal dunia menyuarakan perlunya penelitian dan peninjauan mendalam terhadap cultured meat. Di Malaysia, JAKIM telah menyatakan bahwa fatwa terkait status halal cultured meat hanya dapat diberikan setelah teknologi ini mencapai tahap produksi massal dan dilakukan audit lengkap terhadap semua bahan dan proses yang digunakan. Sementara itu, di Uni Emirat Arab, sejumlah konferensi halal internasional telah mulai membahas kemungkinan cultured meat mendapatkan sertifikasi halal jika memenuhi kriteria tertentu.

Dengan latar belakang tersebut, penting bagi dunia akademik dan praktisi teknologi pangan untuk melakukan kajian ilmiah yang menyeluruh terhadap titik-titik kritis kehalalan dalam proses produksi cultured meat. Kajian ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi penyusunan standar halal baru yang dapat mengakomodasi kemajuan teknologi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariat. Jika dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang kuat dan melibatkan para ulama sejak awal, cultured meat berpotensi menjadi solusi etis, berkelanjutan, dan sesuai syariat bagi masa depan konsumsi protein hewani umat Islam.

Proses Produksi Cultured Meat

Proses produksi cultured meat atau daging hasil kultur sel merupakan hasil rekayasa bioteknologi canggih yang meniru proses pertumbuhan jaringan otot dalam tubuh hewan, namun dilakukan di luar tubuh (in vitro). Tujuan utama teknologi ini adalah untuk menghasilkan daging yang secara biologis identik dengan daging konvensional tanpa perlu menyembelih hewan secara langsung. Produksi cultured meat umumnya dilakukan melalui lima tahapan utama, yaitu isolasi sel, proliferasi, diferensiasi, pembentukan jaringan tiga dimensi, serta panen dan pengolahan akhir. Setiap tahapan memiliki tantangan teknis dan etis, terutama dalam konteks kehalalan, yang perlu dipahami secara detail.

  • Pengambilan Sel (Cell Harvesting)

Sel awal yang digunakan berasal dari hewan hidup, biasanya sel otot atau sel punca (stem cell). Pengambilan dilakukan melalui biopsi kecil (minimally invasive)

  • Perbanyakan Sel (Cell Proliferation

Sel yang telah diambil dimasukkan ke dalam media kultur cair yang kaya nutrisi seperti asam amino, gula, garam, vitamin, dan faktor pertumbuhan. Media kultur yang paling umum digunakan adalah Fetal Bovine Serum (FBS)---cairan dari darah janin sapi.

  • Diferensiasi Sel (Cell Differentiation)

Setelah jumlah sel cukup, komposisi media diubah agar sel mulai berdiferensiasi menjadi miotubulus---struktur awal jaringan otot. Proses ini menyerupai pembentukan otot dalam tubuh hewan.

  • Pembentukan Struktur Daging (Tissue Structuring)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun