Mohon tunggu...
Rizkia Ananda
Rizkia Ananda Mohon Tunggu... Seniman - Seorang pelajar

Hanya orang biasa yg sedang berproses

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jika Mengalami Trauma, Apa yang Harus Dilakukan?

10 Mei 2019   00:29 Diperbarui: 10 Mei 2019   00:54 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Haloo...Apa kabar kompasianer...Ketemu lagi nih sama saya, Nando, di artikel tentang BK ini. Kali ini saya akan membahas tentang Konseling Traumatik. Langsung saja ya ke pembahasannya di bawah ini...

Beberapa orang mungkin pernah mengalami masalah trauma. Trauma bisa disebabkan oleh suatu kecelakaan kendaraan, bencana, kasus bullying, dan lain-lain. Kondisi trauma biasanya berawal dari keadaan stress yang mendalam dan berlanjut yang tidak dapat diatasi oleh dirinya sendiri.

Kondisi trauma yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang akan menyebabkan beban psikis pada orang tersebut semakin berat dan mempersulit proses penyesuaian diri serta menghambat perkembangan emosi dan sosial seseorang.

Kondisi psikis seseorang yang mengalami trauma yang berlebihan dapat menyebabkan stress, depresi atau bahkan menyebabkan orang tersebut tidak dapat melakukan aktivitas kesehariannya. Untuk itu perlu adanya cara yang bisa mengatasi masalah trauma ini yaitu dengan konseling traumatik.

Apa itu yang dimaksud dengan konseling traumatik? Dan bagaimana cara menanganinya? 

Konseling merupakan bantuan yang bersifat teraupetik  yang diarahkan untuk mengubah sikap dan perilaku konseli/klien, dan pelaksanaannya dilakukan secara face to face antara konselor dan konseli melalui teknik wawancara sehingga masalah yang dialaminya dapat diselesaikan. Sedangkan kata trauma berasal dari bahasa Yunani "tramatos" yang artinya luka.

Trauma didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang mengalami ancaman kematian, luka yang serius, atau kekerasan seksual (The American Psychological, 2013). Selain itu, kondisi seseorang yang menyaksikan peristiwa buruk, mengerikan, atau mengancam dirinya juga bisa disebut dengan trauma. Kondisi trauma ini bisa ditangani dengan layanan konseling traumatik.

Konseling traumatik adalah upaya konselor untuk membantu klien yang mengalami trauma melalui proses hubungan pribadi, sehingga klien dapat memahami dirinya sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasi masalah trauma yang dialaminya (Sutirna, 2013).

            Konseling traumatik ini berbeda dengan konseling yang lainnya, perbedaannya terletak pada waktu, fokus, aktivitas, dan tujuan.

  • Konseling traumatik memerlukan waktu cukup 1 hingga 6 sesi, sedangkan konseling biasa memerlukan waktu 1 hingga 20 sesi.
  • Fokus dari konseling traumatik lebih memperhatikan pada satu masalah yaitu trauma yang sedang dialami klien.
  • Dalam aktivitasnya, konseling traumatik melibatkan banyak orang dan konselor lebih banyak aktif dibandingkan klien.
  • Tujuan dari konseling traumatik yaitu untuk memulihkan klien dari keadaan trauma dan agar mampu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan barunya. Selain itu, tujuannya untuk berfikir realistis bahwa trauma adalah bagian dari kehidupan, memperoleh pemahaman tentang peristiwa yang menimbulkan trauma, memahami dan menerima perasaan yang berhubungan dengan trauma, dan belajar keterampilan baru untuk mengatasi trauma.
  •             Kondisi traumatik dapat disebabkan oleh peristiwa yang sangat menekan yang terjadi secara tiba-tiba dan diluar kontrol seseorang bahkan bisa mengancam jiwa. Trauma bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang usia, baik anak, remaja, maupun dewasa. Bedanya anak kecil belum mengerti apa yang terjadi pada dirinya, dan trauma baru muncul setelah si anak mulai dewasa. Trauma yang muncul setelah dewasa bisa mengakibatkan perubahan kepribadian pada diri seseorang, ia bisa menjadi seorang pendendam dan menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari. Untuk itu perlu adanya peranan dari konselor, untuk:
  • Meredakan perasaan-perasaan (emas, bodoh, gagal, putus asa, malu, tidak mampu, rasa bersalah, dan lain-lain) dengan menunjukkan sikap menerima situasi krisis, meniptakan keseimbangan pribadi dan penguasaan diri serta tanggung jawab terhadap diri klien.
  • Agar klien dapat menerima kesedihan secara wajar.
  • Memberikan dukungan tinggi pada klien.

Sumber:

http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/onsilium/artile/download/2072/1624&ved=2ahUKEwigot-AgY7iAhVEf30KHX6FBKwQFjACegQIBRAB&usg=AOvVaw14-dV0WzhR-S8IC5GgWgHh

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun