Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Suka makan ikan tongkol

Hari ini adalah besok pada hari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Teori dari Emile Durkheim, dari Fakta Sosial hingga Solidaritas Sosial

4 Desember 2020   15:46 Diperbarui: 6 Maret 2022   02:58 3378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri nampaknya harus melalui serangkaian persoalan yang rumit. Sebelumnya, istilah sosiologi memang sudah dicetuskan oleh Auguste Comte, meski hingga akhir abad kesembilan belas belum ada sekolah-sekolah, departemen, maupun profesor khusus di bidang sosiologi. Kemudian ada seseorang yang berusaha memperjuangkan kelahiran sosiologi sebagai suatu disiplin keilmuan yang berdiri sendiri serta terpisah dari dua disiplin ilmu yang hampir mirip, yakni psikologi dan filsafat. Beliau adalah Emile Durkheim.

Emile Durkheim lahir pada tahun 1858 di Epinal, Prancis. Beliau berasal dari keluarga yang agamis. Awalnya, Durkheim memang diarahkan untuk menjadi seorang rohaniawan, sebagaimana posisi ayahnya dalam masyarakat begitu penting sebagai seorang "kyai"---kalau dalam Islam. Namun, Durkheim memilih untuk terjun di dunia akademis. Titik tolak pemikiran sosiologi ilmiahnya berawal dari pengamatannya terhadap kelompok agama yang tetap memiliki perasaan komunal dan perubahan sosial yang terjadi dalam transisi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Maka beliau memusatkan studinya pada solidaritas dan keteraturan sosial yang berakar pada satu teori sebagai fondasi utamanya, yakni fakta sosial.

Dalam Teori Sosiologi (Ritzer & Stepnisky, 2019: 89), dijelaskan bahwa "fakta sosial adalah segala cara bertindak, baku atau tidak, yang mampu menjalankan batasan eksternal kepada individu; atau sekali lagi, segala cara bertindak yang bersifat umum di seluruh masyarakat tertentu, sedangkan pada saat yang sama ada dalam independensi sendiri yang benar dari manifestasi-manifestasi individualnya" (Durkheim, [1895] 1982:13). Singkatnya, fakta sosial adalah aturan yang disepakati bersama sehingga bisa mengorganisasikan perilaku dan kelompok dalam masyarakat. Fakta sosial ini memiliki korelasinya dengan solidaritas sosial, namun yang pertama-tama akan kita bahas di sini adalah fakta sosial.

Sebagai analogi, kita bisa mengasumsikan fakta sosial dalam masyarakat pada sepeda ontel. Roda, stang, dan pedal adalah masyarakat---beserta kelompok-kelompok masyarakat yang ada di dalamnya. Sedangkan kerangka sepeda adalah fakta sosial. Tanpa kerangka, sepeda tidak bisa disebut sebagai sepeda. Tanpa kerangka, yang ada hanyalah ban, stang, dan pedal, belum menjadi satu kesatuan sebagaimana sepeda ontel. Begitu pula pada masyarakat. Tanpa adanya fakta sosial, masyarakat tentu akan terpisah-pisah karena tidak ada faktor pemersatu yang bisa mengintegrasikan masyarakat.

Fakta sosial ini juga merupakan suatu pedoman yang jauh lebih kuat, mengikat, bahkan sampai bersifat memaksa pembentukan kepribadian individu dan kelompok sosial (Kevin Nobel, 2020: 19). Dalam tataran kehidupan bernegara di Indonesia, hal ini bisa meliputi fakta sosial material, seperti bendera, lambang Garuda Pancasila, gaya arsitektur, kode-kode legal, dan sebagainya. Sedangkan fakta sosial nonmaterial bisa berupa aturan, nilai, norma, moral, bahasa, dan sejarah bangsa sebagai memori kolektif masyarakat Indonesia yang bersifat mengikat bahkan memaksa masyarakat. Fakta sosial ini juga bisa ditularkan sebagaimana tradisi yang bersifat turun temurun hingga membentuk pribadi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

Kita bisa mengambil contoh sederhana, misalnya dalam lingkungan universitas. Umumnya, di lembaga pendidikan seperti universitas ini selalu kedatangan mahasiswa dari beragam daerah dan suku serta budaya untuk berkumpul dan belajar di dalamnya. Oleh sebab adanya fakta sosial berupa bahasa Indonesia, maka orang dari suku tertentu bisa berintegrasi dengan suku yang lain. Selain itu, fakta sosial berupa sejarah bangsa Indonesia juga menjadi kesatuan memori orang dari beragam suku ini sehingga memungkinkannya untuk berintegrasi satu sama lain.

Contoh-contoh yang dipaparkan di atas adalah gambaran umum mengenai fakta sosial yang berfungsi sebagai unsur pemersatu dalam masyarakat. Kali ini saya akan berpindah ke terma solidaritas sosial. Solidaritas yang dimaksud oleh Durkheim dapat diartikan juga sebagai sebuah mekanisme atau perasaan yang menjaga sebuah tali persatuan sosial (Kevin Nobel, 2020:20). Durkheim membagi dua jenis solidaritas sosial, yakni solidaritas mekanik dan organik (Ritzer & Stepnisky, 2019: 99). Dalam Kisah Sosiologi (Kevin Nobel, 2020: 21), Kevin menyebutkan bahwa solidaritas mekanik dibentuk atas dasar persamaan atau homogenitas. Nilai-nilai persatuan yang ada di dalamnya dibangun atas dasar persamaan, ikatan emosional, dan kekerabatan. Perasaan bersatu dalam solidaritas ini cukup kuat karena anggotanya secara spontan cenderung kepada suatu pola hidup bersama yang sama (Aceng Fuad, 2015: 39).

Berbeda dari solidaritas mekanik, solidaritas organik justru dilandasi dengan adanya perbedaan (heterogenitas). Solidaritas jenis ini bersifat mutualisme karena hubungan solidaritas yang ada bersifat saling menguntungkan dan cenderung memaksa; dalam artian bahwa masing-masing anggotanya saling bergantung satu sama lain. Hal ini dikarenakan semakin kompleksnya pembagian kerja dalam masyarakat atau beragam jenis pekerjaan yang semakin terspesialisasi. Oleh karena itu (Ritzer & Stepnisky, 2019: 99), masyarakat modern atau perkotaan, di dalam pandangan Durkheim, dipersatukan oleh spesialisasi orang-orang dan kebutuhan mereka untuk layanan-layanan dari banyak orang lain. Spesialisasi itu tidak hanya mencakup para individu, tetapi juga kelompok-kelompok, struktur-struktur, dan lembaga-lembaga.

Dalam masyarakat perkotaan dengan pembagian kerja yang semakin kompleks, setiap orang membutuhkan peran dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Misalnya ketika ada orang yang ingin membangun rumah, maka ia memerlukan seorang arsitek atau tukang bangunan demi kebutuhannya tersebut. Jika ada orang yang sakit, maka dia akan membutuhkan peran dokter. Kebutuhan akan peran-peran yang lain inilah yang memaksa hubungan solidaritas yang ada terjalin antara satu dengan yang lain.

Solidaritas sosial akan melemah jika fakta sosial mengalami kelunturan. Hal inilah yang disebut Durkheim sebagai anomi (Kevin Nobel, 2020: 23). Sebagaimana dalam analogi yang saya deskripsikan di atas mengenai sepeda ontel, jika kerangka sepeda (fakta sosial) tidak ada, maka yang tersisa hanyalah ban, stang, dan pedal saja, bukan lagi sebagai satu kesatuan sepeda ontel. Fakta sosial yang berupa simbol-simbol material, seperti simbol agama, bendera, dan sesuatu yang dianggap berharga atau penting bagi banyak orang akan dijaga sedemikian rupa agar tidak terhinakan. Jika sesuatu yang berharga tersebut dilecehkan atau dihinakan, maka orang-orang dengan fakta sosial yang sama akan berkorban dengan mengesampingkan kepentingan pribadinya demi mempertahankan sesuatu yang dianggap lebih penting bagi kelompok masyarakatnya yang lebih besar.

Fakta sosial ini sangat relevan hingga hari ini. Solidaritas dan integrasi dalam masyarakat kita dibentuk dengan adanya fakta sosial. Lembaga pendidikan juga memiliki peran yang cukup signifikan dalam menularkan fakta-fakta sosial kepada generasi muda agar fakta sosial ini tetap terjaga demi kelanggengan solidaritas masyarakat yang terintegrasi. Maka dari itulah pemikiran Durkheim ini berkontribusi besar dalam bidang sosiologi. Fakta sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga cukup penting untuk menjaga keteraturan dan ikatan sosial dari jenis masyarakat yang berbeda-beda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun